MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 162/PMK.05/2013
TENTANG
KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB BENDAHARA
PADA SATUAN KERJA PENGELOLA
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa
tata cara penatausahaan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban Bendahara
Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/ Satuan Kerja telah diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008;
b. bahwa
dalam rangka pelaksanaan tugas Bendahara, perlu mengatur mengenai tata cara dan
syarat pengangkatan. Bendahara serta pemberhentian Bendahara sebagaimana
diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Negara;
c. bahwa
guna memberikan pedoman bagi Bendahara dalam melaksanakan tugasnya, perlu
mengatur mengenai kedudukan dan tanggung jawab Bendahara pada satuan kerja
pengelola anggaran pendapatan dan belanja negara;
d. bahwa
guna mengakomodir perkembangan ketentuan mengenai pelaksanaan tugas Bendahara,
perlu menyempurnakan ketentuan mengenai penatausahaan dan penyusunan laporan
pertanggungjawaban
Bendahara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.05/2008;
e. bahwa
sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a, huruf, huruf b, huruf c, dan
huruf d, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 8
Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kedudukan dan Tanggung
Jawab Bendahara Satuan Kerja Pengelola Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor
4286); 2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan
Pengelolaan
dan Tanggung jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25,
Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4614); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013
tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5423); 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.05/2012 Tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB BENDAHARA SATUAN KERJA
PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian
Kesatu
1.
Pengertian
Pasal 1 Dalam
Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a)
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
b)
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang
selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai
acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai
pelaksanaan APBN.
c)
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang
negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk
menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
d)
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya
disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal
dari penerimaan pajak dan hibah.
e)
Kantor/Satuan
Kerja yang selanjutnya disebut Kantor/Satker, adalah unit organisasi lini
Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang
melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan
tanggung jawab penggunaan anggaran.
f)
Dana
Dekonsentrasi adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan pelimpahan
wewenang pelaksanaan kegiatan pemerintah pusat di daerah kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat disertai kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga terkait.
g)
Dana
Tugas Pembantuan adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan penugasan
tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa disertai kewajiban
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga terkait.
h)
Surat
Kuasa Penggunaan Anggaran yang selanjutnya disingkat SKPA adalah dokumen
pemberian kuasa dari Kuasa Pengguna Anggaran tertentu kepada Kuasa Pengguna
Anggaran lainnya untuk menggunakan sebagian kredit anggaran dalam rangka
melaksanakan sebagian/seluruh paket pekerjaan yang telah ditentukan.
i)
Pendanaan
Urusan Bersama yang selanjutnya disingkat PUB adalah pendanaan yang bersumber
dari APBN dan APBD yang digunakan untuk mendanai program/kegiatan bersama pusat
dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan.
j)
Pengguna
Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah Pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
k)
Kuasa
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah Pejabat yang memperoleh
kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan
anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
l)
Pejabat
Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah Pejabat yang diberi
kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
m)
Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah
Pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan
pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
n)
Bendahara
Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah Pejabat yang diberi tugas
untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
15). Kuasa
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah
Pejabat yang memperoleh kewenangan untuk dan atas nama
BUN melaksanakan fungsi pengelolaan Rekening Kas
Umum
Negara.
16).
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah
instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan
yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi BUN.
17).
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara
dalam rangka pelaksanaan APBN pada Kantor/Satuan Kerja Kementerian
Negara/Lembaga.
18).
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan
uang untuk keperluan Belanja Negara
dalam pelaksanaan APBN pada Kantor/Satker Kementerian
Negara/Lembaga.
19).
Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat
BPP adalah
orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran
untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak
guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
20). Uang
Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja
dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara
Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari
Satuan Kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut
sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme
pembayaran langsung.
21).
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah
uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran
untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu)
bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan.
22). Surat
Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah
dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang beris permintaan
pembayaran tagihan kepada negara.
23). Surat
Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen
yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dan yang
bersumber dari DIPA.
24). Surat
Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat
SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk
mencairkan UP.
25). Surat
Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya
disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM
untuk mencairkan TUP.
26. Surat
Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat
SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang
dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
27). Surat
Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang
diberikan oleh Bendahara Penerimaan kepada penyetor.
28). Surat
Perintah Membayar Langsung kepada Bendahara yang selanjutnya disingkat SPM LS
Bendahara adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh PPSPM kepada
Bendahara Pengeluaran.
29). Surat
Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah
yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas
beban APBN berdasarkan SPM.
30).
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara yang selanjutnya disingkat LPJ adalah laporan
yang dibuat oleh bendahara atas uang yang dikelolanya sebagai
pertanggungjawaban pengelolaan uang.
31).
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya
disingkat LPJ-BPP adalah laporan yang dibuat oleh BPP atas uang yang dikelolanya
sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
32). Unit
Akuntasi Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut UAKPA adalah unit
akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat
satker.
33). Surat
Perintah Bayar yang selanjutnya disebut dengan SPBy adalah bukti perintah PPK
atas nama KPA kepada Bendahara Pengeluaran/BPP untuk mengeluarkan uang
persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran/BPP sebagai pembayaran
kepada pihak yang dituju.Bagian Kedua
2.
Ruang
Lingkup
Pasal
2 Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
a.
Pengangkatan Bendahara;
b.
Pembebastugasan Sementara dan Pengangkatan Kembali Bendahara;
c.
Pemberhentian Bendahara dan Penetapan Pejabat Pengganti
Bendahara;
d.
Penatausahaan Kas Bendahara;
e.
Pembukuan Bendahara;
f.
Pemeriksaan Kas Bendahara oleh KPA/PPK dan Rekonsiliasi
Pembukuan
Bendahara dengan UAKPA; dan
g.
Penyusunan, penatausahaan dan penyampaian LPJ. Pasal 3 Bendahara yang diatur
dalam Peraturan Menteri ini meliputi Bendahara Penerimaan, Bendahara
Pengeluaran dan BPP pada Satker pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, termasuk Bendahara Pengelola Dana Dekonsentrasi, Bendahara Pengelola
Dana Tugas Pembantuan, Bendahara Pengelola Dana PUB, Bendahara Pengelola Dana
SKPA serta Bendahara pada Satker Badan Layanan Umum, selain Bendahara pada
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Bagian Ketiga Batasan Tanggung
Jawab Bendahara Pasal 4 (1) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
merupakan Pejabat perbendaharaan yang secara fungsional bertanggung jawab
kepada Kuasa BUN dan secara pribadi bertanggung jawab atas seluruh uang/surat
berharga yang dikelolanya dalam rangka
pelaksanaan
APBN. (2) BPP bertanggung jawab secara pribadi atas uang yang berada dalam
pengelolaannya dan wajib menyampaikan laporan pengelolaan dan
pertanggungjawaban atas uang dalam pengelolaannya kepada Bendahara Pengeluaran.
Pasal 5 (1) Dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja, Bendahara Pengeluaran
dan BPP merupakan wajib pungut atas pajak yang timbul karena adanya pembayaran
UP. (2) Bendahara Pengeluaran dan BPP harus menatausahakan uang dari
kegiatannya sebagai wajib pungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB II
PENGANGKATAN BENDAHARA
Bagian
Kesatu Pengangkatan Bendahara Pasal 6 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang mengangkat
Bendahara Penerimaan dan/atau Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan
tugas-tugas kebendaharaan. (2) Guna kelancaran pelaksanaan kegiatan,
Menteri/Pimpinan Lembaga atau Pejabat yang diberi kuasa dapat mengangkat satu atau
lebih BPP.
(3)
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat didelegasikan
kepada Kepala Kantor/Satker.
(4)
Pengangkatan Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran dan BPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan dalam surat keputusan.
(5)
Pengangkatan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
selaku BUN.
(6)
Jabatan Bendahara Pengeluaran dan/atau Bendahara Penerimaan tidak boleh
dirangkap oleh KPA, PPK, PPSPM, atau Kuasa BUN.
(7)
Jabatan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran/BPP tidak boleh saling
merangkap.
(8) Dalam
hal terdapat keterbatasan jumlah sumber daya manusia, jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dapat saling merangkap dengan izin Kuasa BUN.
(9) Dalam
hal tidak terdapat perubahan Pejabat yang diangkat
sebagai
Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran/BPP pada saat pergantian periode
tahun anggaran, pengangkatan Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran/BPP
tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku. Pasal 7 Pengangkatan BPP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) hanya dapat dilakukan dalam hal:
a.
terdapat kegiatan yang lokasinya berjauhan dengan tempat kedudukan Bendahara
Pengeluaran; dan/atau
b. beban
kerja Bendahara Pengeluaran sangat berat berdasarkan penilaian Kepala
Kantor/Satker.
Pasal 8 (1)
Dalam hal diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penerimaan, Kepala
Kantor/Satker dapat menunjuk petugas yang berfungsi untuk:
a.
Menerima uang dari wajib bayar; dan
b.
Menyampaikan uang yang diterimanya kepada Bendahara Penerimaan atau langsung menyetorkannya
ke Kas Negara atas nama Bendahara Penerimaan. (2) Penyampaian uang oleh petugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bendahara Penerimaan harus disertai
dengan bukti penerimaan. (3) Format bukti penerimaan dan teknis penyampaian
uang oleh
petugas
kepada Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh
masing-masing Kepala Kantor/Satker. (4) Penunjukkan petugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
a. Lokasi
penerimaan berbeda dengan lokasi tempat Bendahara Penerimaan berada; dan/atau
b. Beban
kerja yang berat dan tidak memungkinkan untuk dilakukan sendiri oleh Bendahara
Penerimaan. Bagian Kedua Syarat Pengangkatan Bendahara Pasal 9 (1) Setiap orang
yang akan diangkat menjadi Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran/BPP harus
memiliki Sertifikat Bendahara. (2) Sertifikat Bendahara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperoleh melalui proses sertifikasi yang diselenggarakan oleh Kementerian
Keuangan. (3) Dalam hal proses sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
terlaksana, persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai
Bendahara adalah sebagai berikut:
a. Pegawai
Negeri;
b.
Pendidikan minimal SLTA atau sederajat; dan
c.
Golongan Minimal II/b atau sederajat.
BAB III
PEMBEBASTUGASAN SEMENTARA DAN
PENGANGKATAN KEMBALI BENDAHARA
Pasal 10 Bendahara
dibebaskan sementara dari jabatan Bendahara, apabila:
a. Dalam
proses pemeriksaan terdapat dugaan bahwa Bendahara telah melakukan perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya
kerugian
negara;
atau
b. Terjadi
sesuatu yang menyebabkan bendahara tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam
waktu paling singkat 3 (tiga)
bulan. Pasal
11 (1) Dalam hal Bendahara dibebastugaskan sementara dari
jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan
Pejabat pengganti sebagai Bendahara.
(2)
Pengangkatan Pejabat pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor/Satker.
(3)
Pengangkatan Pejabat pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
harus dituangkan dalam surat keputusan.
(4)
Bendahara yang dibebastugaskan sementara dari jabatannya
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 menyerahkan tugas dan
tanggung
jawabnya beserta seluruh dokumen dalam rangka
pelaksanaan
tugasnya kepada Pejabat pengganti Bendahara.
(5)
Penyerahan tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan
tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
didahului dengan pemeriksaan kas oleh KPA atau Pejabat
yang
ditunjuk oleh KPA.
(6) Hasil
pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
serah
terima tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan
tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Serah
Terima.
Pasal 12
(1) Dalam
hal berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Bendahara
tidak
terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 10 huruf a, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mengangkat
kembali Bendahara dimaksud pada jabatannya
sebagai
Bendahara.
(2) Dalam
hal Bendahara yang dibebastugaskan sementara
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, kembali bertugas
di
lingkungan Satkernya, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mengangkat
kembali Bendahara dimaksud pada jabatannya
sebagai
Bendahara.
(3)
Pengangkatan kembali Bendahara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dan ayat (2) dapat didelegasikan kepada Kepala
Kantor/Satker.
(4)
Pengangkatan kembali Bendahara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dan ayat (2) harus dituangkan dalam surat keputusan.
BAB IV
PEMBERHENTIAN
BENDAHARA DAN
PENETAPAN
PEJABAT PENGGANTI BENDAHARA
Pasal 13
Bendahara
dapat diberhentikan apabila:
a.
dijatuhi hukuman disiplin sedang atau berat;
b.
dijatuhi hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
c.
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri;
d. sakit
berkepanjangan;
e.
meninggal dunia; atau
f.
mutasi/berpindah tempat kerja.
Pasal 14
(1) Dalam
hal Bendahara diberhentikan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 13, Menteri/Pimpinan Lembaga mengganti
Bendahara
dimaksud dan mengangkat Bendahara baru.
(2)
Pengangkatan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat
didelegasikan kepada Kepala Kantor/Satker.
(3)
Pengangkatan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
dituangkan dalam surat keputusan.
(4)
Bendahara yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13
menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya beserta
seluruh
dokumen dalam rangka pelaksanaan tugasnya kepada
Bendahara
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5)
Penyerahan tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan
tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
didahului dengan pemeriksaan kas oleh KPA atau Pejabat
yang
ditunjuk oleh KPA.
(6) Hasil
pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
serah
terima tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan
tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Serah
Terima.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format Berita Acara
Pemeriksaan
Kas dan Serah Terima sebagaimana dimaksud pada
ayat (6)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
BAB V
PENATAUSAHAAN
KAS
Bagian
Kesatu
Asas Umum
Penatausahaan Kas oleh Bendahara
Pasal 15
(1)
Bendahara harus menatausahakan seluruh uang/surat berharga
yang
dikelolanya.
(2) Dalam
melaksanakan tugasnya, Bendahara wajib menggunakan
rekening
atas nama jabatannya pada Bank Umum/Kantor Pos
yang telah
mendapatkan persetujuan Kuasa BUN.
(3)
Pembukaan rekening atas nama Bendahara sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Menteri
Keuangan
mengenai pengelolaan rekening pemerintah pada
Kementerian
Negara/Lembaga/Kantor/Satker.
(4) Dalam
hal Bendahara Penerimaan dan/atau Bendahara
Pengeluaran
juga mengelola rekening lainnya maka Bendahara
Penerimaan
dan/atau Bendahara Pengeluaran juga harus
menatausahakan
uang yang ada dalam rekening tersebut.
(5)
Bendahara dilarang menyimpan uang yang dikelolanya dalam
rangka
pelaksanaan APBN atas nama pribadi pada Bank
Umum/Kantor
Pos.
(6) Dalam
rangka penarikan uang dari rekening Bendahara
Penerimaan,
Pejabat yang berwenang menandatangani cek untuk
pengambilan
uang di Bank Umum/Kantor Pos adalah Pejabat
yang
bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara dan
Bendahara
Penerimaan.
(7) Dalam
rangka penarikan uang dari rekening Bendahara
Pengeluaran/BPP,
Pejabat yang berwenang menandatangani cek
untuk
pengambilan uang di Bank Umum/Kantor Pos adalah KPA
dan/atau
PPK atas nama KPA dan Bendahara Pengeluaran/BPP.
Bagian
Kedua
Penatausahaan
Kas Bendahara Penerimaan
Pasal 16
(1)
Bendahara Penerimaan menatausahakan semua uang yang
dikelolanya
baik yang sudah menjadi penerimaan negara
maupun
yang belum menjadi penerimaan negara.
(2)
Penerimaan negara pada kantor/satker pada Kementerian
Negara/Lembaga
tidak dapat digunakan secara langsung untuk
pengeluaran,
kecuali diatur khusus dalam peraturan perundangundangan
tersendiri.
(3)
Bendahara Penerimaan dilarang menerima secara langsung
setoran
dari wajib setor, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu
yang diatur
secara khusus dan telah mendapat persetujuan
Menteri
Keuangan.
(4) Dalam
hal Bendahara Penerimaan menerima secara langsung
penerimaan
tertentu dari wajib setor sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1), Bendahara Penerimaan wajib:
a. membuat
dan menyampaikan SBS lembar ke-1 kepada
penyetor
dan lembar ke-2 sebagai bukti pembukuan
bendahara;
b.
menyetor seluruh penerimaannya ke Kas Negara paling lambat
dalam
waktu 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya penerimaan
tersebut,
kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang
penyetorannya
diatur secara khusus.
(5) Dalam
hal terdapat penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
yang penyetorannya diatur secara khusus, Bendahara
Penerimaan
wajib menyimpan uang yang diterimanya dalam
rekening
yang telah mendapat persetujuan BUN/Kuasa BUN.
(6)
Bentuk, nama, dan format SBS sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf
a diatur oleh masing-masing Menteri/Pimpinan
Lembaga.
Pasal 17
(1)
Bendahara Penerimaan berkewajiban untuk segera menyetorkan
penerimaan
negara ke Kas Negara setiap akhir hari kerja saat
penerimaan
negara tersebut diterima, baik dari wajib setor
maupun
dari petugas yang ditunjuk untuk menerima dan
menyetorkan
uang kepada Bendahara Penerimaan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 8.
(2)
Penyetoran oleh Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya dalam
hal:
a.
Terkendala jam operasional Bank Persepsi/Kantor Pos
Persepsi;
dan/atau
b. PNBP
diterima pada hari libur/yang diliburkan.
(3)
Penyetoran penerimaan negara oleh Bendahara Penerimaan ke
Kas Negara
harus menggunakan formulir SSBP/SSP/dokumen
lain yang
dipersamakan dengan SSBP/SSP.
Pasal 18
(1)
Penyetoran penerimaan negara oleh Bendahara Penerimaan
dapat
dilakukan secara berkala dalam hal:
a. Layanan
Bank/Pos Persepsi yang sekota Bendahara
Penerimaan
tidak tersedia;
b. Kondisi
geografis satuan kerja yang tidak memungkinkan
melakukan
penyetoran setiap hari;
c. Jarak
tempuh antara lokasi Bank/Pos Persepsi dengan
tempat/kedudukan
Bendahara Penerimaan melampaui waktu
2 (dua)
jam; dan/atau
d. Biaya
yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran lebih
besar
daripada penerimaan yang diperoleh.
(2)
Penyetoran sebagaimana ayat (1) dapat dilakukan setelah
mendapatkan
izin dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan.
Bagian Ketiga
Penatausahaan
Kas Bendahara Pengeluaran dan BPP
Pasal 19
(1)
Jenis-jenis uang/surat berharga yang harus ditatausahakan oleh
Bendahara
Pengeluaran/BPP meliputi:
a. Uang
Persediaan;
b. Uang
yang berasal dari Kas Negara melalui SPM LS Bendahara;
c. Uang
yang berasal dari potongan atas pembayaran yang
dilakukannya
sehubungan dengan fungsi Bendahara selaku
wajib
pungut;
d. Uang
dari sumber lainnya yang menjadi hak negara; dan
e. Uang
lainnya yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan
boleh
dikelola oleh Bendahara.
(2) Uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
wajib
disetorkan oleh Bendahara Pengeluaran/BPP ke Kas
Negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
dan tidak
dapat digunakan untuk keperluan apapun
dan dengan
alasan apapun.
Pasal 20
(1)
Bendahara Pengeluaran menerima UP/TUP/GUP dari Kuasa BUN
untuk
kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional kantor
sehari-hari.
(2) Dalam
hal Menteri/Pimpinan Lembaga atau Kepala
Kantor/Satker
telah menetapkan adanya BPP di lingkup
Kantor/Satker
berkenaan, Bendahara Pengeluaran dapat
menyalurkan
dana UP/TUP dan/atau uang dari SPM LS
Bendahara
kepada BPP.
(3)
Bendahara Pengeluaran harus menyampaikan daftar rincian
jumlah UP
yang dikelola oleh masing-masing BPP pada saat
pengajuan
SPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP ke KPPN.
(4) Untuk
memperlancar proses pembayaran, Bendahara
Pengeluaran/BPP
dapat menyimpan dana UP/TUP yang
diterimanya
dalam brankas sesuai dengan ketentuan.
(5)
Bendahara Pengeluaran/BPP harus menyimpan sisa uang
UP/TUP
selain kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
pada
rekening sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2).
(6) Pada
setiap akhir hari kerja, uang tunai yang berasal dari
UP/TUP
yang ada pada Kas Bendahara Pengeluaran/BPP paling
banyak
sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(7) Dalam
hal uang tunai yang berasal dari UP/TUP yang ada pada
Kas
Bendahara Pengeluaran/BPP lebih dari Rp 50.000.000,-
(lima
puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Bendahara
Pengeluaran/BPP membuat Berita Acara yang
ditandatangani
oleh Bendahara Pengeluaran/BPP dan PPK.
(8) Bentuk
dan format Berita Acara sebagaimana dimaksud pada
ayat (7)
diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan
Pasal 21
(1)
Penyaluran dana UP kepada BPP oleh Bendahara Pengeluaran
dilakukan berdasarkan
SPBy yang ditandatangani oleh PPK atas
nama KPA
yang dilampiri rincian kebutuhan dana masingmasing
BPP.
(2) Atas
penyaluran dana UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bendahara
Pengeluaran membuat kuitansi/bukti penerimaan
atas
penyaluran dana UP sebanyak 2 (dua) lembar dengan
ketentuan:
a. lembar
ke-1 disampaikan kepada BPP sebagai bukti bahwa
dana UP
telah diterima oleh BPP;
b. lembar
ke-2 disimpan oleh Bendahara Pengeluaran.
(3) Dalam
hal penggunaan UP pada BPP telah mencapai paling
kurang 50%,
BPP dapat mengajukan penggantian UP kepada
Bendahara
Pengeluaran.
(4) Atas
permintaan penggantian UP dari BPP, Bendahara
Pengeluaran
dapat memberikan dana UP yang dikelolanya dalam
hal masih
tersedia dana UP.
(5) Dalam
hal dana UP di Bendahara Pengeluaran tidak mencukupi,
Bendahara
Pengeluaran dapat mengajukan permintaan
penggantian
UP kepada PPK.
Pasal 22
(1)
Bendahara Pengeluaran/BPP dapat melaksanakan pembayaran
UP setelah
menerima SPBy yang ditandatangani oleh PPK atas
nama KPA.
(2) SPBy
sebagaimana ayat (1) dilampiri dengan bukti pengeluaran
berupa:
a.
Kuitansi/bukti pembelian yang telah disahkan PPK beserta
faktur
pajak dan SSP; dan
b.
Nota/bukti penerimaan barang/jasa atau dokumen
pendukung
lainnya yang diperlukan dan telah disahkan oleh
PPK.
(3) Berdasarkan
SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bendahara
Pengeluaran/BPP wajib melakukan pengujian atas:
a.
kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
b.
kebenaran atas hak tagih, meliputi:
1. pihak
yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
2. nilai
tagihan yang harus dibayar;
3. jadwal
waktu pembayaran; dan
4.
ketersediaan dana yang bersangkutan.
c.
kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang
disebutkan
dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi
teknis
yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/kontrak;
d.
ketepatan penggunaan kode mata anggaran pengeluaran
(akun 6
digit).
Pasal 23
(1)
Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas
tagihan
dalam SPBy apabila telah memenuhi persyaratan
pengujian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Dalam
hal pengujian perintah bayar sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 22 tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan,
Bendahara
Pengeluaran/BPP harus menolak SPBy yang diajukan
kepadanya.
Pasal 24
(1) Dalam
hal SPBy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
digunakan
untuk pembayaran uang muka kerja, selain dilampiri
dengan
bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat
(2), SPBy dimaksud harus dilampiri:
a. rencana
pelaksanaan kegiatan/pembayaran;
b. rencana
kebutuhan dana; dan
c. batas
waktu pertanggungjawaban penggunaan uang muka
kerja,
dari
penerima uang muka kerja.
(2) Atas
dasar rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rencana
kebutuhan
dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Bendahara
Pengeluaran/BPP melakukan pengujian ketersediaan
dananya.
(3)
Bendahara Pengeluaran/BPP dapat membayarkan uang muka
kerja
apabila pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memenuhi
persyaratan untuk dibayarkan.
Pasal 25
(1) Bendahara
Pengeluaran/BPP harus menguji bukti pengeluaran
atas
pertanggungjawaban uang muka kerja sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2) sesuai dengan batas waktu
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c dari
penerima
uang muka kerja.
(2) Pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(3) Dalam
hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24
ayat (1) huruf c, penerima uang muka kerja belum
menyampaikan
bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1),
Bendahara Pengeluaran/BPP menyampaikan
permintaan
tertulis kepada penerima uang muka kerja agar
segera
mempertanggungjawabkan uang muka kerja yang
diberikan
kepadanya.
(4)
Bendahara Pengeluaran/BPP menyampaikan tembusan
permintaan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
PPK.
Pasal 26
(1)
Bendahara Pengeluaran/BPP harus memperhitungkan dan
memungut/memotong
pajak atas tagihan dalam SPBy yang
diajukan
kepadanya.
(2)
Bendahara Pengeluaran/BPP harus menyetorkan pajak atas
tagihan
dalam SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas
Negara.
(3) Dalam
hal Bendahara Pengeluaran/BPP menerima dan
mengelola
PNBP, Bendahara Pengeluaran/BPP harus
menyetorkan
PNBP dimaksud ke Kas Negara.
(4)
Bendahara Pengeluaran/BPP menyetorkan pajak yang
dikelolanya
ke Kas Negara dengan menggunakan formulir
SSP/sarana
administrasi lain yang kedudukannya dipersamakan
dengan
SSP, dengan menggunakan akun sesuai dengan jenis
pajak
berkenaan.
(5)
Bendahara Pengeluaran/BPP menyetorkan PNBP yang
dikelolanya
ke Kas Negara dengan menggunakan formulir SSBP
termasuk
setoran pengembalian belanja yang bersumber dari
SPM tahun
anggaran yang lalu, dengan menggunakan akun
sesuai
penyetoran terkait.
Pasal 27
(1) Pada
akhir tahun anggaran/kegiatan, BPP harus menyetorkan
seluruh
sisa UP/TUP kepada Bendahara Pengeluaran.
(2) Atas
penerimaan setoran sisa UP/TUP sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1), Bendahara Pengeluaran menerbitkan
kuitansi/tanda
terima setoran sisa UP/TUP dari BPP sebanyak 2
lembar,
dengan ketentuan:
a. lembar
ke-1 disampaikan kepada BPP;
b. lembar
ke-2 disimpan oleh Bendahara Pengeluaran.
Pasal 28
(1) Pada
akhir tahun anggaran/kegiatan, BPP wajib menyetorkan
seluruh
uang hak negara selain UP/TUP yang berada dalam
pengelolaannya
ke Kas Negara.
(2) Pada
akhir tahun anggaran/kegiatan, Bendahara Pengeluaran
wajib
menyetorkan seluruh sisa UP/TUP dan seluruh uang hak
negara
yang berada dalam pengelolaannya ke Kas Negara.
Pasal 29
(1)
Bendahara Pengeluaran/BPP harus memperhitungkan dan
memungut/memotong
pajak atas pembayaran yang bersumber
dari SPM
LS Bendahara.
(2)
Bendahara Pengeluaran/BPP harus menyetorkan pajak
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ke Kas Negara
menggunakan
SSP/dokumen lain yang dipersamakan dengan
SSP.
(3) Dalam
hal terdapat sisa uang yang bersumber dari SPM LS
Bendahara
yang tidak terbayarkan kepada yang berhak,
Bendahara
Pengeluaran/BPP harus segera menyetorkan sisa
uang
dimaksud ke Kas Negara.
(4) Dalam
hal tidak dimungkinkan untuk menyetor sisa uang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ke Kas Negara secepatnya,
Bendahara
Pengeluaran/BPP dapat menyetorkan sisa uang
dimaksud
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak
tanggal
diterbitkannya SP2D dari KPPN.
BAB VI
PEMBUKUAN
BENDAHARA
Bagian
Kesatu
Penyelenggaraan
Pembukuan Bendahara
Pasal 30
(1)
Bendahara menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh
penerimaan
dan pengeluaran yang dilakukan pada satker.
(2)
Pembukuan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri
dari Buku Kas Umum, Buku-Buku Pembantu, dan Buku
Pengawasan
Anggaran.
(3)
Pembukuan yang dilakukan oleh Bendahara dimulai dari Buku
Kas Umum,
Buku-Buku Pembantu, dan selanjutnya pada Buku
Pengawasan
Anggaran.
(4) Pada
akhir tahun anggaran, Bendahara Penerimaan menutup
Buku Kas
Umum dan Buku-Buku Pembantu dengan
ditandatangani
oleh Bendahara Penerimaan dan Pejabat yang
bertugas
melakukan pemungutan penerimaan negara.
(5) Pada
akhir tahun anggaran, Bendahara Pengeluaran menutup
Buku Kas
Umum dan Buku-Buku Pembantu dengan
ditandatangani
oleh Bendahara Pengeluaran dan KPA atau PPK
atas nama
KPA.
(6) Pada
akhir tahun anggaran, BPP menutup Buku Kas Umum dan
Buku-Buku
Pembantu dengan ditandatangani oleh BPP dan PPK.
(7)
Bendahara yang mengelola lebih dari satu DIPA, harus
memisahkan
pembukuannya sesuai DIPA masing-masing.
Pasal 31
(1)
Pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan dengan
aplikasi
yang dibuat dan dibangun oleh Kementerian Keuangan
cq.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Dalam
hal Bendahara tidak dapat melakukan pembukuan
menggunakan
aplikasi sebagaimana dimaksud ayat (1),
Bendahara
dapat melakukan pembukuan secara manual baik
dengan
tulis tangan maupun dengan komputer.
(3) Dalam
hal pembukuan dilakukan menggunakan aplikasi atau
dengan
komputer, Bendahara harus:
a.
mencetak Buku Kas Umum dan Buku-Buku Pembantu paling
sedikit
satu kali dalam satu bulan yaitu pada hari kerja
terakhir
bulan berkenaan; dan
b.
menandatangani hasil cetakan sebagaimana dimaksud pada
huruf a
dan diketahui oleh:
1. Pejabat
yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
negara,
bagi Bendahara Penerimaan; atau
2. KPA
atau PPK atas nama KPA, bagi Bendahara
Pengeluaran/BPP.
(4)
Bendahara harus menatausahakan hasil cetakan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) beserta dokumen sumber terkait.
Bagian
Kedua
Pembukuan
Bendahara Penerimaan
Pasal 32
(1)
Bendahara Penerimaan segera mencatat setiap transaksi
penerimaan
dan pengeluaran dalam Buku Kas Umum sebelum
dibukukan
dalam Buku-Buku Pembantu.
(2)
Menteri/pimpinan lembaga yang bertanggung jawab atas
penerimaan
dimaksud dapat menentukan Buku-Buku Pembantu
selain
Buku Kas Umum.
(3)
Buku-Buku Pembantu Bendahara Penerimaan terdiri dari Buku
Pembantu
Kas dan buku pembantu lainnya sesuai kebutuhan.
(4) Dalam
rangka memudahkan pelaksanaan dan keseragaman
pembukuan,
ditetapkan model-model buku Bendahara
Penerimaan.
(5)
Model-model buku Bendahara Penerimaan paling sedikit
mencantumkan
mengenai tanggal, uraian, debet, kredit dan
saldo.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai model buku Bendahara
Penerimaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Bagian
Ketiga
Pembukuan
Bendahara Pengeluaran/BPP
Pasal 33
(1)
Bendahara Pengeluaran segera mencatat setiap transaksi
penerimaan
dan pengeluaran dalam Buku Kas Umum sebelum
dibukukan
dalam Buku-Buku Pembantu.
(2) Buku
Pembantu Bendahara Pengeluaran paling sedikit terdiri
dari Buku
Pembantu Kas, Buku Pembantu UP/TUP, Buku
Pembantu
LS-Bendahara, Buku Pembantu Pajak, dan Buku
Pembantu
Lainnya (sesuai kebutuhan).
(3) Dalam
hal Bendahara Pengeluaran menyalurkan dana kepada
BPP,
Bendahara Pengeluaran menyelenggarakan Buku
Pembantu
BPP.
(4) Dalam
hal Bendahara Pengeluaran menyampaikan uang muka
kerja
(voucher), Bendahara Pengeluaran menyelenggarakan Buku
Pembantu
Uang Muka (voucher).
(5) Dalam
rangka memudahkan pelaksanaan dan keseragaman
pembukuan,
ditetapkan model-model buku Bendahara
Pengeluaran
dan BPP.
(6)
Model-model Buku Bendahara Pengeluaran/BPP paling sedikit
mencantumkan
mengenai tanggal, uraian, debet, kredit, dan
saldo.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai model buku Buku Bendahara
Pengeluaran/BPP
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VII
PEMERIKSAAN
KAS BENDAHARA DAN REKONSILIASI PEMBUKUAN BENDAHARA DENGAN UAKPA
Bagian
Kesatu Pemeriksaan Kas Pasal 34 (1) Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan
negara
melakukan pemeriksaan kas Bendahara Penerimaan paling sedikit satu kali dalam
satu bulan. (2) KPA atau PPK atas nama KPA melakukan pemeriksaan kas
Bendahara
Pengeluaran paling sedikit satu kali dalam satu
bulan.
(3) PPK
melakukan pemeriksaan kas BPP paling sedikit satu kali
dalam satu
bulan.
(4)
Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat
(3) dapat dilaksanakan tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu.
(5)
Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat
(3) dilakukan untuk meneliti kesesuaian antara saldo
buku
dengan saldo kas.
Pasal 35
(1)
Sebagai bagian dari pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 34 ayat (1), Pejabat yang bertugas melakukan
pemungutan
penerimaan negara melakukan monitoring atas
kepastian/kepatuhan
Bendahara Penerimaan dalam melakukan
penyetoran
penerimaan negara/pajak ke Kas Negara secara tepat
jumlah dan
tepat waktu.
(2)
Sebagai bagian dari pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 34 ayat (2), KPA atau PPK atas nama KPA melakukan
hal-hal
sebagai berikut:
a.
monitoring atas kepastian/kepatuhan Bendahara Pengeluaran
dalam
melakukan penyetoran pajak/PNBP ke Kas Negara
secara tepat
jumlah dan tepat waktu; dan
b.
memastikan bahwa uang yang diambil oleh Bendahara
Pengeluaran
dari Bank/Kantor Pos telah sesuai dengan
kebutuhan
dana pada hari itu dan disesuaikan dengan jumlah
uang tunai
yang ada di brankas.
(3)
Sebagai bagian dari pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 34 ayat (3), PPK melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.
monitoring atas kepastian/kepatuhan BPP dalam melakukan
penyetoran
pajak/PNBP ke Kas Negara secara tepat jumlah
dan tepat
waktu; dan
b.
memastikan bahwa uang yang diambil oleh BPP dari
Bank/Kantor
Pos telah sesuai dengan kebutuhan dana pada
hari itu
dan disesuaikan dengan jumlah uang tunai yang ada
di
brankas.
Pasal 36
(1) Hasil
pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dan Pasal
35 dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas.
(2) Berita
Acara Pemeriksaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling
sedikit memuat hasil pemeriksaan berupa:
a.
kesesuaian kas tunai di brankas dan di rekening dalam
rekening
koran dengan pembukuan;
b.
penyetoran penerimaan negara/pajak ke Kas Negara; dan
c.
penjelasan apabila terdapat selisih antara hasil pemeriksaan
dengan
pembukuan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format Berita Acara
Pemeriksaan
Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Bagian
Kedua
Rekonsiliasi
Pembukuan Bendahara dengan UAKPA
Pasal 37
(1)
Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
negara
melakukan rekonsiliasi internal antara pembukuan
Bendahara
Penerimaan dengan Laporan Keuangan UAKPA paling
sedikit
satu kali dalam satu bulan sebelum dilakukan rekonsiliasi
dengan
KPPN.
(2) KPA
atau PPK atas nama KPA melakukan rekonsiliasi internal
antara
pembukuan Bendahara Pengeluaran dengan Laporan
Keuangan
UAKPA paling sedikit satu kali dalam satu bulan
sebelum
dilakukan rekonsiliasi dengan KPPN.
(3)
Rekonsiliasi internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2)
dimaksudkan untuk meneliti kesesuaian antara
pembukuan
bendahara dengan Laporan Keuangan UAKPA.
(4) Rekonsiliasi
internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan
pemeriksaan
kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan
Pasal 35.
(5) Hasil
rekonsiliasi internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat
(2) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan
Rekonsiliasi.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format Berita Acara
Pemeriksaan
Kas dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
BAB VIII
PENYUSUNAN
DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
PERTANGGUNGJAWABAN
BENDAHARA DAN BPP
Pasal 38
(1)
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran wajib
menyusun
LPJ setiap bulan atas uang/surat berharga yang
dikelolanya.
(2) LPJ
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan
pembukuan
Bendahara yang telah direkonsiliasi dengan UAKPA
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37.
(3) LPJ
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
menyajikan
informasi sebagai berikut:
a. keadaan
pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo
awal,
penambahan, pengurangan, dan saldo akhir dari Buku-
Buku
Pembantu;
b. keadaan
kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai
di brankas
dan saldo di rekening bank/pos;
c. hasil
rekonsiliasi internal antara pembukuan bendahara
dengan
UAKPA; dan
d.
penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo
kas.
(4) LPJ
Bendahara Penerimaan ditandatangani oleh Bendahara
Penerimaan
dan Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan
Negara.
(5) LPJ
Bendahara Pengeluaran ditandatangani oleh Bendahara
Pengeluaran
dan KPA atau PPK atas nama KPA.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format LPJ
Bendahara
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
Pasal 39
(1) BPP
wajib menyusun LPJ-BPP setiap bulan atas uang/surat
berharga
yang dikelolanya.
(2)
LPJ-BPP disusun berdasarkan Buku Kas Umum dan Buku-Buku
Pembantu
yang telah diperiksa dan diuji oleh PPK.
(3)
LPJ-BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
menyajikan
informasi sebagai berikut:
a. keadaan
pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo
awal,
penambahan, pengurangan, dan saldo akhir dari Buku-
Buku
Pembantu;
b. keadaan
kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai
di brankas
dan saldo di rekening bank/pos; dan
c.
penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo
kas.
(4)
LPJ-BPP ditandatangani oleh BPP dan PPK serta disampaikan
kepada
Bendahara Pengeluaran setiap bulan paling lambat 5
(lima)
hari kerja bulan berikutnya dengan dilampiri salinan
rekening
koran untuk bulan berkenaan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format LPJ-BPP
diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 40
(1)
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran pada satker
wajib
menyampaikan LPJ kepada:
a. KPPN
selaku Kuasa BUN, yang ditunjuk dalam DIPA satker
yang
berada di bawah pengelolaannya;
b.
Menteri/pimpinan lembaga masing-masing; dan
c. Badan
Pemeriksa Keuangan.
(2)
Penyampaian LPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilampiri
dengan:
a. Berita
Acara Pemeriksaan Kas dan Rekonsiliasi;
b. Salinan
rekening koran yang menunjukkan saldo rekening
untuk
bulan berkenaan;
c. Daftar
Saldo Rekening; dan
d. Daftar
Hasil Konfirmasi Surat Setoran Penerimaan Negara. (3) Daftar Saldo Rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang dilampirkan dalam LPJ Bendahara
Penerimaan menyajikan data Rekening Penerimaan dan Rekening Lainnya yang
dikelola oleh Bendahara Penerimaan. (4) Daftar Saldo Rekening sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c yang dilampirkan dalam LPJ Bendahara Pengeluaran
menyajikan data Rekening Pengeluaran dan Rekening Lainnya yang dikelola oleh
Bendahara Pengeluaran serta rekening yang dikelola oleh BPP.
Pasal 41 (1)
KPPN selaku Kuasa BUN melakukan verifikasi atas LPJ yang diterima dari
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40. (2) Pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
kegiatan:
a.
membandingkan saldo UP yang tertuang dalam LPJ dengan data pengawasan UP yang
ada di KPPN;
b. membandingkan
saldo awal yang tertuang dalam LPJ dengan saldo akhir yang tertuang dalam LPJ
bulan sebelumnya;
c.
membandingkan saldo Kas di Bank yang tercantum dalam LPJ dengan salinan
rekening koran Bendahara;
d. menguji
kebenaran perhitungan (penambahan dan/atau pengurangan) pada LPJ;
e.
meneliti kepatuhan Bendahara dalam penyetoran pajak; dan
f.
meneliti kepatuhan Bendahara dalam penyetoran PNBP. (3) Dalam hal berdasarkan
hasil verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat
(2) LPJ Bendahara dinyatakan belum benar, KPPN menolak LPJ dimaksud.
(4) LPJ
Bendahara yang ditolak oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
segera diperbaiki oleh Bendahara dan selanjutnya dikirim kembali kepada KPPN. (5)
Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) LPJ
Bendahara dinyatakan benar, KPPN melakukan rekapitulasi LPJ dimaksud menjadi
Daftar LPJ Bendahara.
(6) KPPN
melakukan monitoring atas penyampaian LPJ Bendahara baik atas LPJ Bendahara
yang sejak awal belum disampaikan maupun atas perbaikan LPJ Bendahara yang
ditolak oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (7) Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 42 (1)
Penyampaian LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan
Pasal 41 ayat (4) dilaksanakan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 10 (sepuluh) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari libur, penyampaian LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (4) dilaksanakan pada hari kerja
sebelumnya.
Pasal 43 (1)
Dalam hal penyampaian LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) dan Pasal 41 ayat (4) melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42, KPPN mengenakan sanksi berupa penundaan penerbitan SP2D atasSPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP
maupun SPM-LS yang diajukan
oleh
Bendahara Pengeluaran. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
membebaskan Bendahara dari kewajiban untuk menyampaikan LPJ. Pasal 44 (1) KPPN
menyampaikan Daftar LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5)
ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat 15 (lima
belas) hari kerja bulan berikutnya. (2) Dalam hal terdapat perbaikan atas
Daftar LPJ Bendahara, KPPN menyampaikan perbaikannya secara keseluruhan kepada
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 45 (1)
Setelah menerima Daftar LPJ Bendahara dari KPPN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan
rekapitulasi dan menyusun Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran
tingkat Wilayah. (2) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan
Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
ke Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan u.p. Direktorat Pengelolaan Kas Negara
paling lambat 20 (dua puluh hari) hari kerja bulan berikutnya. (3) Dalam hal
terdapat perbaikan atas Rekapitulasi LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan
perbaikan dimaksud secara keseluruhan ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan
u.p. Direktorat Pengelolaan Kas Negara. (4) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan melakukan monitoring atas penyampaian Daftar LPJ Bendahara dari
KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 termasuk penyampaian perbaikan Daftar
LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan rekapitulasi dan penyusunan Rekapitulasi LPJ Bendahara per
Bagian Anggaran tingkat Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan
monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 46 (1)
Setelah menerima Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Direktorat Pengelolaan Kas Negara
melakukan rekapitulasi dan menyusun Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian
Anggaran
tingkat
Nasional. (2) Direktorat Pengelolaan Kas Negara melakukan monitoring atas
penyampaian
Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah dari Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rekapitulasi dan penyusunan
Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47 Pada
saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan Dan Penyusunan Laporan
Pertanggungjawaban
Bendahara
Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan kerja, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 48 Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 15 November 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 15 November 2013
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AMIR
SYAMSUDIN
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1350