Selasa, 08 September 2015

SOP (Standard Operating Procedure)

SOP 


Prosedur operasional standar/ Standard Operating Procedure (SOP) digunakan oleh suatu organisasi untuk memberi jejak arsip dan keseragaman tindakan operasionalnya. Penyusuan SOP berbeda setiap organisasi. Dalam praktiknya tidak semua SOP yang dibuat dapat diterapkan dalam kegiatan operasional, bahkan parahnya SOP hanya sekadar dokumen yang diletakkan di rak atau lemari karena ia tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Oleh karena itulah, perlu cara tepat menyusun standar operasional prosedur (SOP).
Dua fungsi dasar SOP yang menjadi fungsi esensial bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Sebagai rujukan knowledgebase bagi kegiatan operasional yang senantiasa diperbarui
Tindakan-tindakan pekerjaan semisal alur pemasaran dan penjualan, pengiriman barang dari logistik, hingga pelayanan pelanggan semua akan tertata dengan rapi (terstruktur) dengan merujuk pada knowledgebase (baca: SOP) ini. SOP disarankan bahkan diharuskan untuk diperbarui apabila adanya alur kerja yang berubah sehingga harus adanya pembaruan berdasarkan keputusan auditor “jaminan mutu”.
2. Sebagai arsip pelacakan kegiatan operasional, penilaian, dan perbaikan
SOP akan menjadi bukti otentik bagi alur pekerjaan yang memerlukan arsip karena SOP biasanya memiliki formulir kerja semisal berita acara presentasi produk oleh staf marketing, berita acara kunjungan onsite layanan pelanggan, bukti pengiriman barang, dll. Dengan adanya audit jaminan mutu berkala secara internal dan eksternal sebagai penilaian, perbaikan-perbaikan untuk penyempurnaan harus dilakukan.
SOP tidak dapat dirumuskan dengan segelintir orang apalagi yang tidak memahami sistem kerja perusahaan. Setidaknya diperlukan tim khusus yang berkompeten agar SOP yang dibuat sesuai dengan keadaan sebenar perusahaan. Adapun berikut ini beberapa cara yang bisa dijadikan acuan:
1. Pembentukan tim khusus SOP
Tim terdiri dari tenaga kompeten dari setiap bagian/ divisi perusahaan misalnya manajer pemasaran, manajer support, dll. Jika diperlukan, libatkan konsultan jaminan mutu untuk mendapat informasi/ masukan yang tepat.
2. Pembagian tugas tim
Tenaga yang telah dibentuk diharuskan memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing untuk memetakan deskripsi kerjanya.
3. Penentuan sasaran penerapan SOP
Sasaran SOP yaitu divisi-divisi di perusahaan yang memang patut atau perlu menggunakan SOP

4. Penentuan waktu dan tempat penerapan SOP
Perkirakan waktu pelaksanaannya setelah verifikasi/ persetujuan atas SOP yang dibuat termasuk tempat yang sesuai yaitu divisi masing-masing.
5. Mendokumentasikan jenis kegiatan operasional setiap divisi
Setelah tim memetakan alur kerja setiap divisi yang dipegangnya, catat apa saja jenis kegiatan operasional yang selalu dilakukan. Pencatatan ini dalam bentuk perinci beserta penjelasannya.
6. Menyusun alur kerja, instruksi kerja, dan formulir pendukung
Alur kerja berupa bagan alur (flow chart) beserta penjelasannya. Instruksi kerja adalah penjelasan perinci dari alur kerja. Formulir pendukung digunakan sebagai arsip yang akan menjadi bukti otentik kegiatan operasional.
7. Tukar pendapat/ masukan antarsesama tim
Saling memberi masukan atau tambahan antarsesama tim.
8. Libatkan pelaku pelaksana SOP
Tindakan ini diperlukan agar pelaksana SOP dapat memberikan masukan atas temuan yang kurang.
9. Evaluasi dan perbaikan jika ada Rekonstruksi atau uji coba
Lakukan pengujian SOP setiap divisi untuk mengetahui keefektifannya.
10. Verifikasi dari pihak Quality Management Representative
Setelah uji coba dinyatakan tidak ada masalah dalam pelaksanaan, manajer QMR perusahaan berhak memverifikasi dan memberi persetujuan.
11. Umumkan/ sosialisasikan kepada setiap pelaksana SOP
Sosialisasi SOP dapat dilakukan dengan adanya rapat yang melibatkan semua divisi untuk memastikan bahwa ketika implementasi memang sudah siap.
12. Pemantauan dan analisis
Dalam beberapa bulan ke depan hingga setahun, pemantauan berkala harus selalu dilakukan untuk menilai apakah ada kendala, kriteria yang salah, tidak efektif, dll.

Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP)

I. LATAR BELAKANG

Salah satu aspek penting dalam mewujudkan birokrasi yang profesional, efektif dan efisien adalah dengan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) pada seluruh proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Hal ini dinilai penting karena Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan SOP juga merupakan alat penilaian kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan.
Dengan adanya Standar Operasional Prosedur, penyelenggaraan administrasi pemerintahan dapat berjalan dengan pasti. Berbagai bentuk penyimpangan dapat dihindari atau sekalipun terjadi penyimpangan di lingkungan pemerintahan, hal tersebut dapat ditemukan penyebabnya dan bisa diselesaikan dengan cara yang tepat. Apabila semua kegiatan sudah sesuai dengan yang ditetapkan dalam Standar Operasional Prosedur, maka secara bertahap kualitas pelayanan publik akan lebih profesional, cepat dan mudah.

II.TUJUAN

Tujuan dari penyusunan dokumen SOP antara lain :
  1. Memberikan pedoman bagi instansi pemerintah dalam mengidentifikasi, merumuskan, menyusun, mengembangkan, memonitor serta mengevaluasi Standar Operasional Prosedur (SOP) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang dilaksanakannya.
  2. Menciptakan komitmen mengenai prosedur yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintah dalam mewujudkan good governance.
III.KELUARAN

Keluaran dari kegiatan ini adalah Dokumen Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mampu membangun hubungan dan tata kerja instansi pemerintah serta pelayanan publik secara profesional, efektif dan efisien.

IV. HASIL
  1. Penyempurnaan proses penyelenggaraan pemerintahan secara profesional, efektif dan efisien.
  2. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat secara profesional, cepat dan mudah.

Wewenang, tanggung jawab dan pendelegasian wewenang Presentation Transcript

  • WEWENANG, TANGGUNG JAWAB, DAN PENDELEGASIAN WEWENANG oleh: Hengki Hermawan Irham Maulana Irham Sukarmi Irza Sahputra created by: hengkyhermawan550@yahoo.c o.id
  • Pengertian Wewenang (Authority). Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan Authority adalah kekuasaan yang sah dan legal yang dimiliki oleh seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat sesuatu; authority merupakan dasar hukum yang sah dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan. Menurut Louis A. Allen Authority is the sum of the powers and rights entrusted to make possible the performance of the work delegated. Artinya: Wewenang adalah sejumlah kekuasaan (powers) dan hak (rights) yang didelegasikan pada suatu jabatan.
  • Menurut G,R. Terry Authority is the official and legal right to command action by others and enforce compliance. Artinya: wewenang adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain, supaya bertindak dan taat kepada pihak yang wewenang itu.
  • Di dalam wewenang selalu terdapat power dan responsibility untuk mencapai tujuan, tetapi power tidak selalu diikuti oleh setiap authority and responsibility. Jadi, authority lah yang paling menjamin tercapainya tujuan, sebab authority menciptakan power dan right.
  • mengapa authority itu sangat penting bagi seseorang???? Authority merupakan dasar hukum bagi seseorang untuk dapat melakukan pekerjaan atau tugas – tugasnya. Authority selalu akan menciptakan power, right dan responsibility. Authority menyebabkan perintah – perintah manajer dipatuhi dan ditaati. Auhority menjadi tolak ukur kedudukan, sifat pekerjaan, dan tanggung jawab seseorang karyawan dalam suatu perusahaan. Authority menjadi batas tentang apa yang dapat dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan seseorang. Authority merupakan kunci pekerjaan manajerial,
  • Jenis – jenis authority: Line authority (wewenang garis) Staff authority (wewenang staf), Functional authority (wewenang fungsional), Personality authority (wewenang wibawa),
  • Sumber – sumber authority Formal authority theory (institutional approach = teori wewenang formal). Acceptance authority theory (teori penerimaan wewenang). Authority of the situation (wewenang diperoleh seseorang karena situasi) Position authority (wewenang karena posisi (jabatan) dalam organisasi). Technical authority (computer authority). Yuridis authority (wewenang hukum).
  • Batas – batas authority (limits of authority) Kemampuan jasmaniah (fisik), Alamiah (tidak dapat menentang kodrat alam), Teknologi (belum sesuai dengan teknologi), Pembatasan ekonomi, Partnership agreement, Lembaga, Pembatasan hukum,
  • Wewenang (authority) merupakan dasar untuk bertindak, berbuat, dan melakukan kegiatan/aktivitas dalam suatu perusahaan. Tanpa wewenang orang – orang dalam perusahaan tidak dapat berbuat apa – apa. Dalam authority selalu terdapat power and right, dalam power belum tetnu terdapat authority and right.
  • Perlu diingat, bahwa semakin tinggi posisi seorang manajer dalam organisasinya maka semakin besar wewenang dan tanggung jawabnya. Sebaliknya, semakin rendah posisi seorang manajer dalam organisasi maka semakin kecil wewenang dan tanggung jawabnya.
  • Tanggung Jawab Tanggung jawab (responsibility) adalah keharusan untuk melakukan semua kewajiban/tugas – tugas yang dibebankan kepadanya sebagai akibat dari wewenang yang diterima atau dimilikinya. Setiap wewenang akan menimbulkan hak (right), tanggung jawab (responsibility), kewajiban – kewajiban untuk melaksanakan dan mempertanggung jawabkan (accountability).
  • Tanggungjawab ini timbul karena adanya hubungan antara atasan (delegator) dengan bawahan (delegate) dimana delegator (atasan) mendelegasikan sebagian wewenang (pekerjaannya) kepada delegate (bawahan) untuk dikerjakan.
  • Pertanggungjawaban seorang top manajer… pemerintah dan konsumen UNIFIED BY MANAGEMENT pemilik perusahaan karyawan perusahaan
  • Perlu diingat bahwa responsibility tidak dapat dilimpahkan (didelegasikan) kepada orang/pihak lainnya. Authority diterima maka responsibility-nya harus juga diterima dengan sebaik – baiknya pula. Inilah sebabnya top manajer yang menjadi penanggungjawab terakhir mengenai maju mundurnya suatu perusahaan.
  • Pendelegasian Wewenang (delegation of authority) Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan Pendelegasian wewenang adalah memberikan sebagian pekerjaan atau wewenang oleh delegator kepada delegate untuk dikerjakannya atas nama delegator. Menurut Ralph C. Davis Delegation of authority is merely the phase of the process in which authority of assigned function of released to positions to be exercise by their incumbent. Artinya: pendelegasian wewenang hanyalah tahapan dari suatu proses ketika penyerhan wewenang, berfungsi melepaskan kedudukan dengan melaksanakan pertanggungjawaban.
  • Mengapa pendelegasian wewenang merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi/ perusahaan??? Pendelegasian wewenang harus dilakukan oleh seorang manajer karena adanya keterbatasan (fisik, waktu, perhatian, dan pengetahuan) seorang manajer. Pendelegasian wewenang harus dilakukan seorang manajer karena manajemen baru dikatakan ada jika ada pembagian wewenang dan pembagian pekerjaan. Pendelegasian dilakukan supaya sebagian tugas dan pekerjaan manajer dapat dilakukan oleh para bawahannya. Pendelegasian wewenang merupakan kunci dinamika organisasi. Menurut Koontz:
  • Lanjutan… Pendelegasian wewenang menciptakan adanya ikatan, hubungan formal, dan kerjasama antara atasan dengan bawahan. Pendelegasian wewenang menciptakan terjadinya proses manajemen. Pendelegasian wewenang akan memperluas ruang gerak dan waktu seorang manajer. Pendelegasian wewenang membuktikan adanya pimpinan dan bawahan dalam suatu organisasi.
  • Asas pendelegasian wewenang… Asas kepercayaan Asas delegasi atas hasil yang diharapkan. Asas penentuan fungsi atau asas kejelasan tugas. Asas rantai berkala. Asas tingkat wewenang. Asas kesatuan komando. Asas keseimbangan wewenang dan tanggung jawab. Asas pembagian kerja. Asas efisiensi Asas kemutlakan tanggungjawab (principle of

PENDELEGASIAN WEWENANG


Pendelegasian wewenang merupakan sesuatu yang vital dalam organisasi kantor. Atasan perlu melakukan pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen dengan baik. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin besarnya organisasi. Bila seorang atasan tidak mau mendelegasikan wewenang, maka sesungguhnya organisasi itu tidak butuh siapa-siapa selain dia sendiri.Bila atasan menghadapi banyak pekerjaan yang tak dapat dilaksanakan oleh satu orang, maka ia perlu melakukan delegasi. Pendelegasian juga dilakukan agar manajer dapat mengembangkan bawahan sehingga lebih memperkuat organisasi, terutama di saat terjadi perubahan susunan manajemen.
Yang penting disadari adalah di saat kita mendelegasikan wewenang kita memberikan otoritas pada orang lain, namun kita sebenarnya tidak kehilangan otoritas orisinilnya. Ini yang sering dikhawatirkan oleh banyak orang. Mereka takut bila mereka melakukan delegasi, mereka kehilangan wewenang, padahal tidak, karena tanggung jawab tetap berada pada sang atasan. Berikut ada tips bagaimana mengusahakan agar para atasan mau mendelegasikan wewenang.
Ciptakan budaya kerja yang membuat orang bebas dari perasaan takut gagal/salah.
Keengganan seorang atasan/manajer untuk mendelegasikan wewenang biasanya dikarenakan mereka takut kalau-kalau tugas mereka gagal dikerjakan dengan baik oleh orang lain. Ini perlu diatasi dengan mendorong mereka untuk berani menanggung resiko. Hanya dengan berani menanggung resikolah perusahaan akan mendapatkan manajer-manajer yang handal dan berpengalaman. Ciptakan budaya bahwa pendelegasian wewenang adalah upaya agar manajer anda menjadi semakin matang. Pendelegasian wewenang bukan sebuah hukuman yang mengurangi kekuasaan manajer, namun membuka kesempatan bagi pengembangan diri mereka dan bawahan.Jadikan pendelegasian wewenang sebagai bagian dari proses perbaikan.
Salah satu efek pendelegasian wewenang adalah pengungkapan kelemahan-kelemahan dalam suatu pekerjaan. Tentu akan sangat tidak mengenakkan bagi seorang manajer bila kelemahan kerja mereka diketahui. Karenanya, yakinkan bahwa pendelegasian wewenang sama sekali bukan untuk menghukum mereka, namun sebagai bagian dari proses perbaikan kerja secara keseluruhan. Mungkin juga sebuah pendelegasian tidak memperbaiki apa-apa, namun setidaknya mendorong manajer anda untuk berpikir untuk memperbaiki dirinya sendiri.Dorong agar manajer anda merasa pasti dan aman.
Seringkali ada keinginan pada seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan itu sendiri. Mereka ingin merasakan kepuasan pribadi bila mengerjakannya sendiri. Biasanya mereka memiliki kemampuan yang memadai namun tidak merasa pasti akan pekerjaannya. Untuk itulah anda perlu menunjukkan bahwa pekerjaan yang dihasilkan sebuah tim tidak mengurangi mutu kerja yang diinginkannya. Tunjukkan keyakinan anda bahwa ia tetap melakukan sesuatu yang baik meski melalui tangan orang lain. Pastikan pula bahwa anda tidak sedang menarik wewenang itu darinya, justru kini ia menempati suatu posisi baru yang membuatnya bisa melihat cakrawala pekerjaan lebih luas.
Pendelegasian (pelimpahan wewenang) merupakan salah satu elemen penting dalam fungsi pembinaan. Sebagai manajer perawat dan bidan menerima prinsip-prinsip delegasi agar menjadi lebih produktif dalam melakukan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Delegasi wewenang adalah proses dimana manajer mengalokasikan wewenang kepada bawahannya.
Ada empat kegiatan dalam delegasi wewenang: 
1.      Manager perawat/bidan menetapkan dan memberikan tugas dan tujuannya kepada orang yang diberi pelimpahan;
2.      Manajer melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan;
3.      Perawat/bidan yang menerima delegasi baik eksplisit maupun implisit menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab.
4.      Manajer perawat/bidan menerima pertanggungjawaban (akontabilitas) atas hasil yang telah dicapai.

Alasan pendelegasian :
Ada beberapa alasan mengapa pendelegasian diperlukan.
1.      Pendelegasian memungkinkan manajer perawat/bidan mencapai hasil yang lebih baik dari pada semua kegiatan ditangani sendiri.
2.      Agar organisasi berjalan lebih efisien.
3.      Pendelegasian memungkinkan manajer perawat/bidan dapat memusatkan perhatian terhadap tugas-tugas prioritas yang lebih penting.

4.      Dengan pendelegasian, memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan berkembang, bahkan dapat dipergunakan sebagai bahan informasi untuk belajar dari kesalahan atau keberhasilan.
Hambatan - Hambatan  Pendelegasian
Hambatan hambatan  pada delegator
1.      Kemampuan yang diragukan oleh dirinya sendiri 
2.      Meyakini  bahwa seseorang “mengetahui semua rincian”
3.      “Saya dapat melakukannya lebih baik oleh diri saya sendiri” buah pikiran yang keliru.
4.      Kurangnya pengalaman dalam pekerjaan atau dalam mendelegasikan
5.      Rasa tidak aman
6.      Takut  tidak disukai
7.      Penolakan untuk mengakui kesalahan
8.      Kurangnya kepercayaan pada bawahan
9.      Kesempurnaan, menyebabkan kontrol yang berlebihan
10.    Kurangnya ketrampilan organisasional dalam menyeimbangkan beban kerja
11.    Kegagalan untuk mendelegasikan kewenangan yang sepadan dengan tanggung jawab.
12.    Keseganan untuk mengembangkan bawahan
13.    Kegagalan untuk menetapkan kontrol dan  tindak lanjut yang efektif.

Hambatan hambatan pada yang diberi delegasi
1.      Kurangnya pengalaman
2.      Kurangnya kompetensi
3.      Menghindari tanggung jawab
4.      Sangat tergantung dengan boss
5.      Kekacauan [disorganization]
6.      Kelebihan beban kerja
7.      Terlalu memperhatikan hal hal yang kurang bermanfaat
Hambatan hambatan dalam situasi
1.      Kebijakan tertuju pada satu orang
2.      Tidak ada toleransi kesalahan
3.      Kekritisan keputusan
4.      Urgensi, tidak ada waktu untuk menjelaskan [krisis manajemen]
5.      Kebingungan dalam tanggung jawab dan  kewenangan.
6.      Kekurangan tenaga

Pendelegasian Wewenang (Delegation of Authority)
A.     Pengertian Pendelgasian Wewenang
         Adakalanya seseorang yang berada disuatu posisi memiliki berbagai keterbatasan dalam melakukan suatu pekerjaan, jumlah pekerjaan serta keahlian yang dimiliki. Jika keterbatasan ini tidak dapat ditanggulangi, hal ini akan memperburuk kinerja Organisasi. Maka perlu dilakukannya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atau biasa disebut delegation. Pendelegasian ialah :
  1. Proses terorganisir dalam kerangka hidup organisasi/keorganisasian untuk secara langsung melibatkan sebanyak mungkin orang dan pribadi dalam pembuatan keputusan, pengarahan, dan pengerjaan kerja-yang berkaitan dengan pemastian tugas.
  2. Tindakan mempercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan secara individu dalam setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas, kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, serta pertanggungjawaban, yang ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi tugas formil dalam organisasi.
Berikut adalah definisi atau pengertian dari Delegasi oleh beberapa pakar :
·        Drs. H. Malayu S.P Hasibuan
Pendelegasian wewenang adalah memberikan sebagian pekerjaan atau wewenang oleh delegator kepada delegate untuk dikerjakannya atasnama delegator.
      ·        Raplh C. Davis
Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan dari suatu proses ketika kita menyerahkan wewenang, berfungsi melepaskan kedudukan dengan melaksanakan pertanggung jawaban.

B.     Manfaat Pelimpahan Wewenang
a.       Pelimpahan wewenang memungkinkan sub-bagian atau bawahan mempelajari sesuatu yang baru dan memperoleh kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru tersebut.
b.      Bahwa pelimpahan wewenang mendorong tercapainya keputusan yang lebih baik dalam berbagai hal.
c.        Penyelesaian pekerjaan akan dapat dilakukan dengan lebih cepat sekiranya pelimpahan wewenang tersebut berjalan sebagaimana mestinya dan diberikan kepada orang yang bertanggung jawab.


C.    Dasar Pendelegasian
Pokok pembahasan tentang dasar pendelegasian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan "Mengapa pendelegasian itu penting?". Pendelegasian itu sangat penting bagi hidup dan kerja setiap organisasi dengan alasan-alasan mendasar berikut di bawah ini.
  1. Pemimpin hanya dapat bekerja bersama dan bekerja melalui orang lain, sesuatu yang hanya dapat diwujudkannya melalui pendelegasian.
  2. Melalui pendelegasian, pemimpin memberi tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan demi pemastian tanggung jawab tugas (agar setiap individu peserta suatu organisasi berfungsi secara normal).
  3. Dengan pendelegasian, pekerjaan keorganisasian dapat berjalan dengan baik tanpa kehadiran pemimpin puncak atau atasan secara langsung.
  4. Dalam pendelegasian, pemimpin memercayakan tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang sekaligus "menuntut" adanya hasil kerja yang pasti dari bawahan.
  5. Dalam pendelegasian, pemimpin memberikan tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang sepadan bagi pelaksanaan kerja sehingga bawahan dengan sendirinya dituntut untuk bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan kerja.
  6. Pendelegasian wewenang membuktikan adanya pimpinan dan bawahan  dalam organisasi.
D.  Sifat Delegasi
  1. Pendelegasian tidak sama pada setiap tingkat hierarki organisasi. Besar kecilnya pendelegasian adalah sesuai dengan tugas, hak, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pertanggungjawaban setiap individu dalam hierarki organisasi.
  2. Pendelegasian tidak dapat ditransfer dari satu tugas ke tugas yang lain dalam suatu organisasi karena satu pendelegasian berlaku untuk satu tugas saja.
E.  Sikap Pemimpin Terhadap Delegasi
Pendelegasian hanya akan berfungsi secara efektif apabila pemimpin memahami dan mengambil sikap yang tepat terhadap pendelegasian itu.
  1. Pemimpin tertinggi dan yang setingkat di atas setiap bawahan bertanggung jawab penuh atas tugas yang didelegasikan dengan memberi dukungan penuh kepada bawahan dengan memenuhi apa yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas.
  2. Pemimpin yang mendelegasikan tugas bertanggung jawab memberi kredit kepada setiap pelaksana tugas atas hasil kerja yang telah diperlihatkannya.
  3. Pemimpin yang mendelegasikan tugas mutlak bertanggung jawab penuh atas sukses atau gagalnya suatu pelaksanaan kerja serta segala konsekuensi yang ditimbulkan oleh setiap bawahannya.
Ada beberapa sikap terhadap delegasi/pendelegasian yang memiliki efek negatif ataupun positif. Sikap-sikap tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Pemimpin sering tidak mendelegasikan tugas karena berbagai alasan, yaitu pemimpin tidak tahu atau takut, dan mempertahankan status quo, serta tidak memercayai orang lain/mencurigai orang lain.
  2. Pemimpin sering mendelegasikan semua tugas karena pemimpin tidak tahu ataupun ingin membebaskan diri/meringankan diri dari kewajibannya.
  3. Pemimpin sering mendelegasikan sedikit tugas karena pemimpin takut atau sangat hati-hati, atau kurang/tidak percaya.
  4. Pemimpin dapat dan patut mendelegasikan tugas dengan bertanggung jawab.

F.     Asas – Asas Pendelegasian
1.      Asas Kepercayaan
   Delegator hanya akan mendelegasikan sebagian wewenanganya kepada delegate, jika delegate dapat dipercaya. Kepercayaan harus didasarkan atas pertimbangan yang Objektif mengenai Kecakapan, kemampuan, kejujuran, keterampilan dan tanggung jawab.
2.      Asas Delegasi Atas Hasil yang Diharapkan
         Pemimpin dalam mendelegasikan wewenang harus berdasarkan Hasil yang dilakukan oleh delegate. tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Harus disesuaikan dengan jaminan kecakapan dan keterampilan untuk mencapaihasil yang diharapkan.
3.      Asas Penentuan fungsi dan Kejelasan Tugas (Principle of function definition)
         Asas penentuasn tugas yang dilakukan manajer  kepada para bawahanya  harus secara jelas disertai hasil yang diharapkan. Semakin jelas kegiatan yang dilakukan maka akan semakin jelas delegation of authority dalam organisasi dan semaki jelas pula hubungan wewenang dengan bagian – bagian yang lainnya. Menurut asas ini pendelgasian harus didasarkan atas  job description seorang bawahan.
4.      Asas Rantai Berkala (Principle Scolar of  Chain)
Asas ini artinya manajer dalam mendelegasikan wewenang harus dilakukan menurut urutan kedudukan yakni dari pejabat ke bawahan. Asas ini menghendaki adanya urutan – urutan wewenang dari manajer puncak kebawahan.
5.      Asas Tingkat Wewenang (The Authority Level Participle)
         Menurut asas ini masing – masing manager pada setiap tingkat harus mengambil keputusan dan kebijakan apa saja yang dapat diambilnya sepnajang mengenai wewenangnya.
6.      Asas Kesatuan Komando  (principle Unity of Command)
         Setiap bawahan  harus diusahakan agar hanya menerima perintah dari seseorang atasan saja. Tapi seorang atasan dapat memerintah lebih dari seorang bawahan.

7.      Asas Keseimbangan Wewenang  & Tanggung Jawab (Parity Of Authority & Responsibility )
Menurut asas ini besarnya wewenang yang didelegasikan harus sama dan seimbang dengan besaranya tugas – tugas dan tanggungjawab yang diminta. Tanpa keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab akan berakibat terjadinya kemandekan tugas-tugas dan tumpang tindih.

8.      Asas Pembagian Kerja  (Devision of Work)
Untuk berfungsinya  Organisasi hendaknya dilakukan distribusi pekerjaan, Karena jika tidak manajemen tidak berarti apa-apa dan semua tugas akan dikerjakan sendiri oleh manajer.
9.      Asas Efisiensi
Menurut asas ini pendelgasian wewenang maka manajer akan lebih leluasa melaksanakan tugas – tugas penting daripada melaksanakan hal – hal yan dapat dikerjakan bawahanya.

10.  Asas Kemutlakan Tanggung Jawab (Principle  of Authority of Responsibility)
Setiap delegate yang menerima wewenang, mutlak harus bertanggungjawab kepada delegator mengenai wewenang yang dilaksanakannya. Perlu diperhatikan bahwa asas tidak berlaku mutlak, tetapi hanya sebagai pedoman untuk bertindak dan dalam penerapannya harus mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi.

Tupoksi Bendahara BUD


MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 162/PMK.05/2013
TENTANG
KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB BENDAHARA
PADA SATUAN KERJA PENGELOLA
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
a. bahwa tata cara penatausahaan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban Bendahara Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/ Satuan Kerja telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bendahara, perlu mengatur mengenai tata cara dan syarat pengangkatan. Bendahara serta pemberhentian Bendahara sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara;
c. bahwa guna memberikan pedoman bagi Bendahara dalam melaksanakan tugasnya, perlu mengatur mengenai kedudukan dan tanggung jawab Bendahara pada satuan kerja pengelola anggaran pendapatan dan belanja negara;
d. bahwa guna mengakomodir perkembangan ketentuan mengenai pelaksanaan tugas Bendahara, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai penatausahaan dan penyusunan laporan
pertanggungjawaban Bendahara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008;
e. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a, huruf, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara Satuan Kerja Pengelola Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor
4286); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4614); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423); 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 Tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
MEMUTUSKAN: Menetapkan :
 PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB BENDAHARA SATUAN KERJA PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu

1.      Pengertian

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a)      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
b)       Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
c)       Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
d)      Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak dan hibah.
e)      Kantor/Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Kantor/Satker, adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
f)       Dana Dekonsentrasi adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan pelimpahan wewenang pelaksanaan kegiatan pemerintah pusat di daerah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat disertai kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga terkait.
g)      Dana Tugas Pembantuan adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan penugasan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa disertai kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga terkait.
h)      Surat Kuasa Penggunaan Anggaran yang selanjutnya disingkat SKPA adalah dokumen pemberian kuasa dari Kuasa Pengguna Anggaran tertentu kepada Kuasa Pengguna Anggaran lainnya untuk menggunakan sebagian kredit anggaran dalam rangka melaksanakan sebagian/seluruh paket pekerjaan yang telah ditentukan.
i)        Pendanaan Urusan Bersama yang selanjutnya disingkat PUB adalah pendanaan yang bersumber dari APBN dan APBD yang digunakan untuk mendanai program/kegiatan bersama pusat dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan.
j)        Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
k)      Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah Pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
l)        Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
m)    Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
n)      Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah Pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
15). Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Pejabat yang memperoleh kewenangan untuk dan atas nama BUN melaksanakan fungsi pengelolaan Rekening Kas
Umum Negara.
16). Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi BUN.
17). Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada Kantor/Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga.
18). Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada Kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
19). Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat
BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
20). Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari Satuan Kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
21). Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan.
22). Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang beris permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
23). Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dan yang bersumber dari DIPA.
24). Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.
25). Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.
26. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
27). Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh Bendahara Penerimaan kepada penyetor.
28). Surat Perintah Membayar Langsung kepada Bendahara yang selanjutnya disingkat SPM LS Bendahara adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh PPSPM kepada Bendahara Pengeluaran.
29). Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
30). Laporan Pertanggungjawaban Bendahara yang selanjutnya disingkat LPJ adalah laporan yang dibuat oleh bendahara atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
31). Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat LPJ-BPP adalah laporan yang dibuat oleh BPP atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
32). Unit Akuntasi Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut UAKPA adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satker.
33). Surat Perintah Bayar yang selanjutnya disebut dengan SPBy adalah bukti perintah PPK atas nama KPA kepada Bendahara Pengeluaran/BPP untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran/BPP sebagai pembayaran kepada pihak yang dituju.Bagian Kedua
2.    Ruang Lingkup
Pasal 2 Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
a. Pengangkatan Bendahara;
b. Pembebastugasan Sementara dan Pengangkatan Kembali Bendahara;
c. Pemberhentian Bendahara dan Penetapan Pejabat Pengganti
Bendahara;
d. Penatausahaan Kas Bendahara;
e. Pembukuan Bendahara;
f. Pemeriksaan Kas Bendahara oleh KPA/PPK dan Rekonsiliasi
Pembukuan Bendahara dengan UAKPA; dan
g. Penyusunan, penatausahaan dan penyampaian LPJ. Pasal 3 Bendahara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran dan BPP pada Satker pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk Bendahara Pengelola Dana Dekonsentrasi, Bendahara Pengelola Dana Tugas Pembantuan, Bendahara Pengelola Dana PUB, Bendahara Pengelola Dana SKPA serta Bendahara pada Satker Badan Layanan Umum, selain Bendahara pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Bagian Ketiga Batasan Tanggung Jawab Bendahara Pasal 4 (1) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran merupakan Pejabat perbendaharaan yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Kuasa BUN dan secara pribadi bertanggung jawab atas seluruh uang/surat berharga yang dikelolanya dalam rangka
pelaksanaan APBN. (2) BPP bertanggung jawab secara pribadi atas uang yang berada dalam pengelolaannya dan wajib menyampaikan laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban atas uang dalam pengelolaannya kepada Bendahara Pengeluaran. Pasal 5 (1) Dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja, Bendahara Pengeluaran dan BPP merupakan wajib pungut atas pajak yang timbul karena adanya pembayaran UP. (2) Bendahara Pengeluaran dan BPP harus menatausahakan uang dari kegiatannya sebagai wajib pungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB II
PENGANGKATAN BENDAHARA
Bagian Kesatu Pengangkatan Bendahara Pasal 6 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang mengangkat Bendahara Penerimaan dan/atau Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas-tugas kebendaharaan. (2) Guna kelancaran pelaksanaan kegiatan, Menteri/Pimpinan Lembaga atau Pejabat yang diberi kuasa dapat mengangkat satu atau lebih BPP.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor/Satker.
(4) Pengangkatan Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran dan BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan dalam surat keputusan.
(5) Pengangkatan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku BUN.
(6) Jabatan Bendahara Pengeluaran dan/atau Bendahara Penerimaan tidak boleh dirangkap oleh KPA, PPK, PPSPM, atau Kuasa BUN.
(7) Jabatan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran/BPP tidak boleh saling merangkap.
(8) Dalam hal terdapat keterbatasan jumlah sumber daya manusia, jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat saling merangkap dengan izin Kuasa BUN.
(9) Dalam hal tidak terdapat perubahan Pejabat yang diangkat
sebagai Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran/BPP pada saat pergantian periode tahun anggaran, pengangkatan Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran/BPP tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku. Pasal 7 Pengangkatan BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. terdapat kegiatan yang lokasinya berjauhan dengan tempat kedudukan Bendahara Pengeluaran; dan/atau
b. beban kerja Bendahara Pengeluaran sangat berat berdasarkan penilaian Kepala Kantor/Satker.
Pasal 8 (1) Dalam hal diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penerimaan, Kepala Kantor/Satker dapat menunjuk petugas yang berfungsi untuk:
a. Menerima uang dari wajib bayar; dan
b. Menyampaikan uang yang diterimanya kepada Bendahara Penerimaan atau langsung menyetorkannya ke Kas Negara atas nama Bendahara Penerimaan. (2) Penyampaian uang oleh petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bendahara Penerimaan harus disertai dengan bukti penerimaan. (3) Format bukti penerimaan dan teknis penyampaian uang oleh
petugas kepada Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh masing-masing Kepala Kantor/Satker. (4) Penunjukkan petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
a. Lokasi penerimaan berbeda dengan lokasi tempat Bendahara Penerimaan berada; dan/atau
b. Beban kerja yang berat dan tidak memungkinkan untuk dilakukan sendiri oleh Bendahara Penerimaan. Bagian Kedua Syarat Pengangkatan Bendahara Pasal 9 (1) Setiap orang yang akan diangkat menjadi Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran/BPP harus memiliki Sertifikat Bendahara. (2) Sertifikat Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui proses sertifikasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan. (3) Dalam hal proses sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum terlaksana, persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai Bendahara adalah sebagai berikut:
a. Pegawai Negeri;
b. Pendidikan minimal SLTA atau sederajat; dan
c. Golongan Minimal II/b atau sederajat.
BAB III
PEMBEBASTUGASAN SEMENTARA DAN
PENGANGKATAN KEMBALI BENDAHARA
Pasal 10 Bendahara dibebaskan sementara dari jabatan Bendahara, apabila:
a. Dalam proses pemeriksaan terdapat dugaan bahwa Bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian
negara; atau
b. Terjadi sesuatu yang menyebabkan bendahara tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam waktu paling singkat 3 (tiga)
bulan. Pasal 11 (1) Dalam hal Bendahara dibebastugaskan sementara dari
jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan Pejabat pengganti sebagai Bendahara.
(2) Pengangkatan Pejabat pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor/Satker.
(3) Pengangkatan Pejabat pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dituangkan dalam surat keputusan.
(4) Bendahara yang dibebastugaskan sementara dari jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 menyerahkan tugas dan
tanggung jawabnya beserta seluruh dokumen dalam rangka
pelaksanaan tugasnya kepada Pejabat pengganti Bendahara.
(5) Penyerahan tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) didahului dengan pemeriksaan kas oleh KPA atau Pejabat
yang ditunjuk oleh KPA.
(6) Hasil pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
serah terima tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Serah
Terima.
Pasal 12
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Bendahara
tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf a, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mengangkat kembali Bendahara dimaksud pada jabatannya
sebagai Bendahara.
(2) Dalam hal Bendahara yang dibebastugaskan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, kembali bertugas
di lingkungan Satkernya, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mengangkat kembali Bendahara dimaksud pada jabatannya
sebagai Bendahara.
(3) Pengangkatan kembali Bendahara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat didelegasikan kepada Kepala
Kantor/Satker.
(4) Pengangkatan kembali Bendahara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan dalam surat keputusan.
BAB IV
PEMBERHENTIAN BENDAHARA DAN
PENETAPAN PEJABAT PENGGANTI BENDAHARA
Pasal 13
Bendahara dapat diberhentikan apabila:
a. dijatuhi hukuman disiplin sedang atau berat;
b. dijatuhi hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
c. diberhentikan sebagai Pegawai Negeri;
d. sakit berkepanjangan;
e. meninggal dunia; atau
f. mutasi/berpindah tempat kerja.
Pasal 14
(1) Dalam hal Bendahara diberhentikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Menteri/Pimpinan Lembaga mengganti
Bendahara dimaksud dan mengangkat Bendahara baru.
(2) Pengangkatan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor/Satker.
(3) Pengangkatan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dituangkan dalam surat keputusan.
(4) Bendahara yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya beserta
seluruh dokumen dalam rangka pelaksanaan tugasnya kepada
Bendahara baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Penyerahan tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) didahului dengan pemeriksaan kas oleh KPA atau Pejabat
yang ditunjuk oleh KPA.
(6) Hasil pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
serah terima tugas dan tanggung jawab serta dokumen
pelaksanaan tugas Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Serah
Terima.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format Berita Acara
Pemeriksaan Kas dan Serah Terima sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
BAB V
PENATAUSAHAAN KAS
Bagian Kesatu
Asas Umum Penatausahaan Kas oleh Bendahara
Pasal 15
(1) Bendahara harus menatausahakan seluruh uang/surat berharga
yang dikelolanya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Bendahara wajib menggunakan
rekening atas nama jabatannya pada Bank Umum/Kantor Pos
yang telah mendapatkan persetujuan Kuasa BUN.
(3) Pembukaan rekening atas nama Bendahara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Menteri
Keuangan mengenai pengelolaan rekening pemerintah pada
Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satker.
(4) Dalam hal Bendahara Penerimaan dan/atau Bendahara
Pengeluaran juga mengelola rekening lainnya maka Bendahara
Penerimaan dan/atau Bendahara Pengeluaran juga harus
menatausahakan uang yang ada dalam rekening tersebut.
(5) Bendahara dilarang menyimpan uang yang dikelolanya dalam
rangka pelaksanaan APBN atas nama pribadi pada Bank
Umum/Kantor Pos.
(6) Dalam rangka penarikan uang dari rekening Bendahara
Penerimaan, Pejabat yang berwenang menandatangani cek untuk
pengambilan uang di Bank Umum/Kantor Pos adalah Pejabat
yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara dan
Bendahara Penerimaan.
(7) Dalam rangka penarikan uang dari rekening Bendahara
Pengeluaran/BPP, Pejabat yang berwenang menandatangani cek
untuk pengambilan uang di Bank Umum/Kantor Pos adalah KPA
dan/atau PPK atas nama KPA dan Bendahara Pengeluaran/BPP.
Bagian Kedua
Penatausahaan Kas Bendahara Penerimaan
Pasal 16
(1) Bendahara Penerimaan menatausahakan semua uang yang
dikelolanya baik yang sudah menjadi penerimaan negara
maupun yang belum menjadi penerimaan negara.
(2) Penerimaan negara pada kantor/satker pada Kementerian
Negara/Lembaga tidak dapat digunakan secara langsung untuk
pengeluaran, kecuali diatur khusus dalam peraturan perundangundangan
tersendiri.
(3) Bendahara Penerimaan dilarang menerima secara langsung
setoran dari wajib setor, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu
yang diatur secara khusus dan telah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
(4) Dalam hal Bendahara Penerimaan menerima secara langsung
penerimaan tertentu dari wajib setor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bendahara Penerimaan wajib:
a. membuat dan menyampaikan SBS lembar ke-1 kepada
penyetor dan lembar ke-2 sebagai bukti pembukuan
bendahara;
b. menyetor seluruh penerimaannya ke Kas Negara paling lambat
dalam waktu 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya penerimaan
tersebut, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang
penyetorannya diatur secara khusus.
(5) Dalam hal terdapat penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang penyetorannya diatur secara khusus, Bendahara
Penerimaan wajib menyimpan uang yang diterimanya dalam
rekening yang telah mendapat persetujuan BUN/Kuasa BUN.
(6) Bentuk, nama, dan format SBS sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a diatur oleh masing-masing Menteri/Pimpinan
Lembaga.
Pasal 17
(1) Bendahara Penerimaan berkewajiban untuk segera menyetorkan
penerimaan negara ke Kas Negara setiap akhir hari kerja saat
penerimaan negara tersebut diterima, baik dari wajib setor
maupun dari petugas yang ditunjuk untuk menerima dan
menyetorkan uang kepada Bendahara Penerimaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Penyetoran oleh Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya dalam
hal:
a. Terkendala jam operasional Bank Persepsi/Kantor Pos
Persepsi; dan/atau
b. PNBP diterima pada hari libur/yang diliburkan.
(3) Penyetoran penerimaan negara oleh Bendahara Penerimaan ke
Kas Negara harus menggunakan formulir SSBP/SSP/dokumen
lain yang dipersamakan dengan SSBP/SSP.
Pasal 18
(1) Penyetoran penerimaan negara oleh Bendahara Penerimaan
dapat dilakukan secara berkala dalam hal:
a. Layanan Bank/Pos Persepsi yang sekota Bendahara
Penerimaan tidak tersedia;
b. Kondisi geografis satuan kerja yang tidak memungkinkan
melakukan penyetoran setiap hari;
c. Jarak tempuh antara lokasi Bank/Pos Persepsi dengan
tempat/kedudukan Bendahara Penerimaan melampaui waktu
2 (dua) jam; dan/atau
d. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran lebih
besar daripada penerimaan yang diperoleh.
(2) Penyetoran sebagaimana ayat (1) dapat dilakukan setelah
mendapatkan izin dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan.
Bagian Ketiga
Penatausahaan Kas Bendahara Pengeluaran dan BPP
Pasal 19
(1) Jenis-jenis uang/surat berharga yang harus ditatausahakan oleh
Bendahara Pengeluaran/BPP meliputi:
a. Uang Persediaan;
b. Uang yang berasal dari Kas Negara melalui SPM LS Bendahara;
c. Uang yang berasal dari potongan atas pembayaran yang
dilakukannya sehubungan dengan fungsi Bendahara selaku
wajib pungut;
d. Uang dari sumber lainnya yang menjadi hak negara; dan
e. Uang lainnya yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan
boleh dikelola oleh Bendahara.
(2) Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
wajib disetorkan oleh Bendahara Pengeluaran/BPP ke Kas
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
dan tidak dapat digunakan untuk keperluan apapun
dan dengan alasan apapun.
Pasal 20
(1) Bendahara Pengeluaran menerima UP/TUP/GUP dari Kuasa BUN
untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional kantor
sehari-hari.
(2) Dalam hal Menteri/Pimpinan Lembaga atau Kepala
Kantor/Satker telah menetapkan adanya BPP di lingkup
Kantor/Satker berkenaan, Bendahara Pengeluaran dapat
menyalurkan dana UP/TUP dan/atau uang dari SPM LS
Bendahara kepada BPP.
(3) Bendahara Pengeluaran harus menyampaikan daftar rincian
jumlah UP yang dikelola oleh masing-masing BPP pada saat
pengajuan SPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP ke KPPN.
(4) Untuk memperlancar proses pembayaran, Bendahara
Pengeluaran/BPP dapat menyimpan dana UP/TUP yang
diterimanya dalam brankas sesuai dengan ketentuan.
(5) Bendahara Pengeluaran/BPP harus menyimpan sisa uang
UP/TUP selain kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
pada rekening sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2).
(6) Pada setiap akhir hari kerja, uang tunai yang berasal dari
UP/TUP yang ada pada Kas Bendahara Pengeluaran/BPP paling
banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(7) Dalam hal uang tunai yang berasal dari UP/TUP yang ada pada
Kas Bendahara Pengeluaran/BPP lebih dari Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Bendahara Pengeluaran/BPP membuat Berita Acara yang
ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran/BPP dan PPK.
(8) Bentuk dan format Berita Acara sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan
Pasal 21
(1) Penyaluran dana UP kepada BPP oleh Bendahara Pengeluaran
dilakukan berdasarkan SPBy yang ditandatangani oleh PPK atas
nama KPA yang dilampiri rincian kebutuhan dana masingmasing
BPP.
(2) Atas penyaluran dana UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bendahara Pengeluaran membuat kuitansi/bukti penerimaan
atas penyaluran dana UP sebanyak 2 (dua) lembar dengan
ketentuan:
a. lembar ke-1 disampaikan kepada BPP sebagai bukti bahwa
dana UP telah diterima oleh BPP;
b. lembar ke-2 disimpan oleh Bendahara Pengeluaran.
(3) Dalam hal penggunaan UP pada BPP telah mencapai paling
kurang 50%, BPP dapat mengajukan penggantian UP kepada
Bendahara Pengeluaran.
(4) Atas permintaan penggantian UP dari BPP, Bendahara
Pengeluaran dapat memberikan dana UP yang dikelolanya dalam
hal masih tersedia dana UP.
(5) Dalam hal dana UP di Bendahara Pengeluaran tidak mencukupi,
Bendahara Pengeluaran dapat mengajukan permintaan
penggantian UP kepada PPK.
Pasal 22
(1) Bendahara Pengeluaran/BPP dapat melaksanakan pembayaran
UP setelah menerima SPBy yang ditandatangani oleh PPK atas
nama KPA.
(2) SPBy sebagaimana ayat (1) dilampiri dengan bukti pengeluaran
berupa:
a. Kuitansi/bukti pembelian yang telah disahkan PPK beserta
faktur pajak dan SSP; dan
b. Nota/bukti penerimaan barang/jasa atau dokumen
pendukung lainnya yang diperlukan dan telah disahkan oleh
PPK.
(3) Berdasarkan SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bendahara Pengeluaran/BPP wajib melakukan pengujian atas:
a. kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
b. kebenaran atas hak tagih, meliputi:
1. pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
2. nilai tagihan yang harus dibayar;
3. jadwal waktu pembayaran; dan
4. ketersediaan dana yang bersangkutan.
c. kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang
disebutkan dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi
teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/kontrak;
d. ketepatan penggunaan kode mata anggaran pengeluaran
(akun 6 digit).
Pasal 23
(1) Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas
tagihan dalam SPBy apabila telah memenuhi persyaratan
pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Dalam hal pengujian perintah bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan,
Bendahara Pengeluaran/BPP harus menolak SPBy yang diajukan
kepadanya.
Pasal 24
(1) Dalam hal SPBy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
digunakan untuk pembayaran uang muka kerja, selain dilampiri
dengan bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (2), SPBy dimaksud harus dilampiri:
a. rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran;
b. rencana kebutuhan dana; dan
c. batas waktu pertanggungjawaban penggunaan uang muka
kerja,
dari penerima uang muka kerja.
(2) Atas dasar rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rencana
kebutuhan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pengujian ketersediaan
dananya.
(3) Bendahara Pengeluaran/BPP dapat membayarkan uang muka
kerja apabila pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memenuhi persyaratan untuk dibayarkan.
Pasal 25
(1) Bendahara Pengeluaran/BPP harus menguji bukti pengeluaran
atas pertanggungjawaban uang muka kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) sesuai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c dari
penerima uang muka kerja.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(3) Dalam hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) huruf c, penerima uang muka kerja belum
menyampaikan bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bendahara Pengeluaran/BPP menyampaikan
permintaan tertulis kepada penerima uang muka kerja agar
segera mempertanggungjawabkan uang muka kerja yang
diberikan kepadanya.
(4) Bendahara Pengeluaran/BPP menyampaikan tembusan
permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
PPK.
Pasal 26
(1) Bendahara Pengeluaran/BPP harus memperhitungkan dan
memungut/memotong pajak atas tagihan dalam SPBy yang
diajukan kepadanya.
(2) Bendahara Pengeluaran/BPP harus menyetorkan pajak atas
tagihan dalam SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas
Negara.
(3) Dalam hal Bendahara Pengeluaran/BPP menerima dan
mengelola PNBP, Bendahara Pengeluaran/BPP harus
menyetorkan PNBP dimaksud ke Kas Negara.
(4) Bendahara Pengeluaran/BPP menyetorkan pajak yang
dikelolanya ke Kas Negara dengan menggunakan formulir
SSP/sarana administrasi lain yang kedudukannya dipersamakan
dengan SSP, dengan menggunakan akun sesuai dengan jenis
pajak berkenaan.
(5) Bendahara Pengeluaran/BPP menyetorkan PNBP yang
dikelolanya ke Kas Negara dengan menggunakan formulir SSBP
termasuk setoran pengembalian belanja yang bersumber dari
SPM tahun anggaran yang lalu, dengan menggunakan akun
sesuai penyetoran terkait.
Pasal 27
(1) Pada akhir tahun anggaran/kegiatan, BPP harus menyetorkan
seluruh sisa UP/TUP kepada Bendahara Pengeluaran.
(2) Atas penerimaan setoran sisa UP/TUP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bendahara Pengeluaran menerbitkan
kuitansi/tanda terima setoran sisa UP/TUP dari BPP sebanyak 2
lembar, dengan ketentuan:
a. lembar ke-1 disampaikan kepada BPP;
b. lembar ke-2 disimpan oleh Bendahara Pengeluaran.
Pasal 28
(1) Pada akhir tahun anggaran/kegiatan, BPP wajib menyetorkan
seluruh uang hak negara selain UP/TUP yang berada dalam
pengelolaannya ke Kas Negara.
(2) Pada akhir tahun anggaran/kegiatan, Bendahara Pengeluaran
wajib menyetorkan seluruh sisa UP/TUP dan seluruh uang hak
negara yang berada dalam pengelolaannya ke Kas Negara.
Pasal 29
(1) Bendahara Pengeluaran/BPP harus memperhitungkan dan
memungut/memotong pajak atas pembayaran yang bersumber
dari SPM LS Bendahara.
(2) Bendahara Pengeluaran/BPP harus menyetorkan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas Negara
menggunakan SSP/dokumen lain yang dipersamakan dengan
SSP.
(3) Dalam hal terdapat sisa uang yang bersumber dari SPM LS
Bendahara yang tidak terbayarkan kepada yang berhak,
Bendahara Pengeluaran/BPP harus segera menyetorkan sisa
uang dimaksud ke Kas Negara.
(4) Dalam hal tidak dimungkinkan untuk menyetor sisa uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke Kas Negara secepatnya,
Bendahara Pengeluaran/BPP dapat menyetorkan sisa uang
dimaksud paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak
tanggal diterbitkannya SP2D dari KPPN.
BAB VI
PEMBUKUAN BENDAHARA
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Pembukuan Bendahara
Pasal 30
(1) Bendahara menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh
penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pada satker.
(2) Pembukuan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari Buku Kas Umum, Buku-Buku Pembantu, dan Buku
Pengawasan Anggaran.
(3) Pembukuan yang dilakukan oleh Bendahara dimulai dari Buku
Kas Umum, Buku-Buku Pembantu, dan selanjutnya pada Buku
Pengawasan Anggaran.
(4) Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Penerimaan menutup
Buku Kas Umum dan Buku-Buku Pembantu dengan
ditandatangani oleh Bendahara Penerimaan dan Pejabat yang
bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara.
(5) Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Pengeluaran menutup
Buku Kas Umum dan Buku-Buku Pembantu dengan
ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran dan KPA atau PPK
atas nama KPA.
(6) Pada akhir tahun anggaran, BPP menutup Buku Kas Umum dan
Buku-Buku Pembantu dengan ditandatangani oleh BPP dan PPK.
(7) Bendahara yang mengelola lebih dari satu DIPA, harus
memisahkan pembukuannya sesuai DIPA masing-masing.
Pasal 31
(1) Pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan dengan
aplikasi yang dibuat dan dibangun oleh Kementerian Keuangan
cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Dalam hal Bendahara tidak dapat melakukan pembukuan
menggunakan aplikasi sebagaimana dimaksud ayat (1),
Bendahara dapat melakukan pembukuan secara manual baik
dengan tulis tangan maupun dengan komputer.
(3) Dalam hal pembukuan dilakukan menggunakan aplikasi atau
dengan komputer, Bendahara harus:
a. mencetak Buku Kas Umum dan Buku-Buku Pembantu paling
sedikit satu kali dalam satu bulan yaitu pada hari kerja
terakhir bulan berkenaan; dan
b. menandatangani hasil cetakan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan diketahui oleh:
1. Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
negara, bagi Bendahara Penerimaan; atau
2. KPA atau PPK atas nama KPA, bagi Bendahara
Pengeluaran/BPP.
(4) Bendahara harus menatausahakan hasil cetakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) beserta dokumen sumber terkait.
Bagian Kedua
Pembukuan Bendahara Penerimaan
Pasal 32
(1) Bendahara Penerimaan segera mencatat setiap transaksi
penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Kas Umum sebelum
dibukukan dalam Buku-Buku Pembantu.
(2) Menteri/pimpinan lembaga yang bertanggung jawab atas
penerimaan dimaksud dapat menentukan Buku-Buku Pembantu
selain Buku Kas Umum.
(3) Buku-Buku Pembantu Bendahara Penerimaan terdiri dari Buku
Pembantu Kas dan buku pembantu lainnya sesuai kebutuhan.
(4) Dalam rangka memudahkan pelaksanaan dan keseragaman
pembukuan, ditetapkan model-model buku Bendahara
Penerimaan.
(5) Model-model buku Bendahara Penerimaan paling sedikit
mencantumkan mengenai tanggal, uraian, debet, kredit dan
saldo.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai model buku Bendahara
Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Bagian Ketiga
Pembukuan Bendahara Pengeluaran/BPP
Pasal 33
(1) Bendahara Pengeluaran segera mencatat setiap transaksi
penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Kas Umum sebelum
dibukukan dalam Buku-Buku Pembantu.
(2) Buku Pembantu Bendahara Pengeluaran paling sedikit terdiri
dari Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu UP/TUP, Buku
Pembantu LS-Bendahara, Buku Pembantu Pajak, dan Buku
Pembantu Lainnya (sesuai kebutuhan).
(3) Dalam hal Bendahara Pengeluaran menyalurkan dana kepada
BPP, Bendahara Pengeluaran menyelenggarakan Buku
Pembantu BPP.
(4) Dalam hal Bendahara Pengeluaran menyampaikan uang muka
kerja (voucher), Bendahara Pengeluaran menyelenggarakan Buku
Pembantu Uang Muka (voucher).
(5) Dalam rangka memudahkan pelaksanaan dan keseragaman
pembukuan, ditetapkan model-model buku Bendahara
Pengeluaran dan BPP.
(6) Model-model Buku Bendahara Pengeluaran/BPP paling sedikit
mencantumkan mengenai tanggal, uraian, debet, kredit, dan
saldo.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai model buku Buku Bendahara
Pengeluaran/BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VII
PEMERIKSAAN KAS BENDAHARA DAN REKONSILIASI PEMBUKUAN BENDAHARA DENGAN UAKPA
Bagian Kesatu Pemeriksaan Kas Pasal 34 (1) Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
negara melakukan pemeriksaan kas Bendahara Penerimaan paling sedikit satu kali dalam satu bulan. (2) KPA atau PPK atas nama KPA melakukan pemeriksaan kas
Bendahara Pengeluaran paling sedikit satu kali dalam satu
bulan.
(3) PPK melakukan pemeriksaan kas BPP paling sedikit satu kali
dalam satu bulan.
(4) Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) dapat dilaksanakan tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu.
(5) Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan untuk meneliti kesesuaian antara saldo
buku dengan saldo kas.
Pasal 35
(1) Sebagai bagian dari pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1), Pejabat yang bertugas melakukan
pemungutan penerimaan negara melakukan monitoring atas
kepastian/kepatuhan Bendahara Penerimaan dalam melakukan
penyetoran penerimaan negara/pajak ke Kas Negara secara tepat
jumlah dan tepat waktu.
(2) Sebagai bagian dari pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2), KPA atau PPK atas nama KPA melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a. monitoring atas kepastian/kepatuhan Bendahara Pengeluaran
dalam melakukan penyetoran pajak/PNBP ke Kas Negara
secara tepat jumlah dan tepat waktu; dan
b. memastikan bahwa uang yang diambil oleh Bendahara
Pengeluaran dari Bank/Kantor Pos telah sesuai dengan
kebutuhan dana pada hari itu dan disesuaikan dengan jumlah
uang tunai yang ada di brankas.
(3) Sebagai bagian dari pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (3), PPK melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. monitoring atas kepastian/kepatuhan BPP dalam melakukan
penyetoran pajak/PNBP ke Kas Negara secara tepat jumlah
dan tepat waktu; dan
b. memastikan bahwa uang yang diambil oleh BPP dari
Bank/Kantor Pos telah sesuai dengan kebutuhan dana pada
hari itu dan disesuaikan dengan jumlah uang tunai yang ada
di brankas.
Pasal 36
(1) Hasil pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dan Pasal 35 dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas.
(2) Berita Acara Pemeriksaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit memuat hasil pemeriksaan berupa:
a. kesesuaian kas tunai di brankas dan di rekening dalam
rekening koran dengan pembukuan;
b. penyetoran penerimaan negara/pajak ke Kas Negara; dan
c. penjelasan apabila terdapat selisih antara hasil pemeriksaan
dengan pembukuan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format Berita Acara
Pemeriksaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Bagian Kedua
Rekonsiliasi Pembukuan Bendahara dengan UAKPA
Pasal 37
(1) Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
negara melakukan rekonsiliasi internal antara pembukuan
Bendahara Penerimaan dengan Laporan Keuangan UAKPA paling
sedikit satu kali dalam satu bulan sebelum dilakukan rekonsiliasi
dengan KPPN.
(2) KPA atau PPK atas nama KPA melakukan rekonsiliasi internal
antara pembukuan Bendahara Pengeluaran dengan Laporan
Keuangan UAKPA paling sedikit satu kali dalam satu bulan
sebelum dilakukan rekonsiliasi dengan KPPN.
(3) Rekonsiliasi internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dimaksudkan untuk meneliti kesesuaian antara
pembukuan bendahara dengan Laporan Keuangan UAKPA.
(4) Rekonsiliasi internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan
pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan
Pasal 35.
(5) Hasil rekonsiliasi internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan
Rekonsiliasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format Berita Acara
Pemeriksaan Kas dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
BAB VIII
PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA DAN BPP
Pasal 38
(1) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran wajib
menyusun LPJ setiap bulan atas uang/surat berharga yang
dikelolanya.
(2) LPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan
pembukuan Bendahara yang telah direkonsiliasi dengan UAKPA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
(3) LPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
menyajikan informasi sebagai berikut:
a. keadaan pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo
awal, penambahan, pengurangan, dan saldo akhir dari Buku-
Buku Pembantu;
b. keadaan kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai
di brankas dan saldo di rekening bank/pos;
c. hasil rekonsiliasi internal antara pembukuan bendahara
dengan UAKPA; dan
d. penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo
kas.
(4) LPJ Bendahara Penerimaan ditandatangani oleh Bendahara
Penerimaan dan Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan Negara.
(5) LPJ Bendahara Pengeluaran ditandatangani oleh Bendahara
Pengeluaran dan KPA atau PPK atas nama KPA.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format LPJ
Bendahara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
Pasal 39
(1) BPP wajib menyusun LPJ-BPP setiap bulan atas uang/surat
berharga yang dikelolanya.
(2) LPJ-BPP disusun berdasarkan Buku Kas Umum dan Buku-Buku
Pembantu yang telah diperiksa dan diuji oleh PPK.
(3) LPJ-BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
menyajikan informasi sebagai berikut:
a. keadaan pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo
awal, penambahan, pengurangan, dan saldo akhir dari Buku-
Buku Pembantu;
b. keadaan kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai
di brankas dan saldo di rekening bank/pos; dan
c. penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo
kas.
(4) LPJ-BPP ditandatangani oleh BPP dan PPK serta disampaikan
kepada Bendahara Pengeluaran setiap bulan paling lambat 5
(lima) hari kerja bulan berikutnya dengan dilampiri salinan
rekening koran untuk bulan berkenaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan format LPJ-BPP
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 40
(1) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran pada satker
wajib menyampaikan LPJ kepada:
a. KPPN selaku Kuasa BUN, yang ditunjuk dalam DIPA satker
yang berada di bawah pengelolaannya;
b. Menteri/pimpinan lembaga masing-masing; dan
c. Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Penyampaian LPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilampiri dengan:
a. Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Rekonsiliasi;
b. Salinan rekening koran yang menunjukkan saldo rekening
untuk bulan berkenaan;
c. Daftar Saldo Rekening; dan
d. Daftar Hasil Konfirmasi Surat Setoran Penerimaan Negara. (3) Daftar Saldo Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang dilampirkan dalam LPJ Bendahara Penerimaan menyajikan data Rekening Penerimaan dan Rekening Lainnya yang dikelola oleh Bendahara Penerimaan. (4) Daftar Saldo Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang dilampirkan dalam LPJ Bendahara Pengeluaran menyajikan data Rekening Pengeluaran dan Rekening Lainnya yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran serta rekening yang dikelola oleh BPP.
Pasal 41 (1) KPPN selaku Kuasa BUN melakukan verifikasi atas LPJ yang diterima dari Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. (2) Pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan:
a. membandingkan saldo UP yang tertuang dalam LPJ dengan data pengawasan UP yang ada di KPPN;
b. membandingkan saldo awal yang tertuang dalam LPJ dengan saldo akhir yang tertuang dalam LPJ bulan sebelumnya;
c. membandingkan saldo Kas di Bank yang tercantum dalam LPJ dengan salinan rekening koran Bendahara;
d. menguji kebenaran perhitungan (penambahan dan/atau pengurangan) pada LPJ;
e. meneliti kepatuhan Bendahara dalam penyetoran pajak; dan
f. meneliti kepatuhan Bendahara dalam penyetoran PNBP. (3) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) LPJ Bendahara dinyatakan belum benar, KPPN menolak LPJ dimaksud.
(4) LPJ Bendahara yang ditolak oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus segera diperbaiki oleh Bendahara dan selanjutnya dikirim kembali kepada KPPN. (5) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) LPJ Bendahara dinyatakan benar, KPPN melakukan rekapitulasi LPJ dimaksud menjadi Daftar LPJ Bendahara.
(6) KPPN melakukan monitoring atas penyampaian LPJ Bendahara baik atas LPJ Bendahara yang sejak awal belum disampaikan maupun atas perbaikan LPJ Bendahara yang ditolak oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 42 (1) Penyampaian LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (4) dilaksanakan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 10 (sepuluh) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, penyampaian LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (4) dilaksanakan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 43 (1) Dalam hal penyampaian LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (4) melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, KPPN mengenakan sanksi berupa penundaan penerbitan SP2D atasSPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP maupun SPM-LS yang diajukan
oleh Bendahara Pengeluaran. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membebaskan Bendahara dari kewajiban untuk menyampaikan LPJ. Pasal 44 (1) KPPN menyampaikan Daftar LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja bulan berikutnya. (2) Dalam hal terdapat perbaikan atas Daftar LPJ Bendahara, KPPN menyampaikan perbaikannya secara keseluruhan kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 45 (1) Setelah menerima Daftar LPJ Bendahara dari KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan rekapitulasi dan menyusun Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah. (2) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan u.p. Direktorat Pengelolaan Kas Negara paling lambat 20 (dua puluh hari) hari kerja bulan berikutnya. (3) Dalam hal terdapat perbaikan atas Rekapitulasi LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan perbaikan dimaksud secara keseluruhan ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan u.p. Direktorat Pengelolaan Kas Negara. (4) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring atas penyampaian Daftar LPJ Bendahara dari KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 termasuk penyampaian perbaikan Daftar LPJ Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rekapitulasi dan penyusunan Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 46 (1) Setelah menerima Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Direktorat Pengelolaan Kas Negara melakukan rekapitulasi dan menyusun Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran
tingkat Nasional. (2) Direktorat Pengelolaan Kas Negara melakukan monitoring atas
penyampaian Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Wilayah dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rekapitulasi dan penyusunan Rekapitulasi LPJ Bendahara per Bagian Anggaran tingkat Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan Dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
Bendahara Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 48 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 November 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1350

Musikblog

INSICO ICO